Tampilkan postingan dengan label cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita. Tampilkan semua postingan

10/04/13

Berbincang dengan Para Bujangan


Ahad kemarin saya berbincang dengan beberapa anak muda tentang pernikahan. Bincang-bincang ringan, hanya sedikit dalil, tanpa landasan studi, minim referensi. Anak-anak muda itu semuanya laki-laki, sudah lulus kuliah, sebagian sudah bekerja dan punya penghasilan. Maka saya merasa relevan untuk membahas masalah pernikahan dengan mereka. Membahas pernikahan dengan orang-orang yang mungkin sebentar lagi akan menikah, apalagi dia adalah laki-laki, maka saya merasa bahasan yang relevan untuk dikupas bukan masalah romantisme pernikahan, enaknya menikah, indahnya menikah dengan gadis salihah, dan bahasan-bahasan lain yang sejenis. Kepada para laki-laki itu, saya ingin berbincang mengenai mas’uliyah (tanggungjawab) seorang laki-laki. Bagi mereka, saya anggap ngompor-ngomporin buat nikah dengan menyajikan kisah-kisah dan dalil-dalil tentang romantisme keluarga sudah selesai. Saatnya membahas pernikahan dari sudut pandang laki-laki, dengan lebih serius.

Saya memulai dengan bercerita tentang kehidupan Hasan Al Banna di rumahnya. Kenapa Hasan Al Banna? Karena saat itu, hanya itu bahan yang mudah saya temukan. Saya membaca ringkasan buku “Cinta di Rumah Hasan Al Banna” karangan Muhammad Lili Nur Aulia. Buku itu hanya trigger. Saya membacakan bagaimana Hasan Al Banna yang waktu itu sudah menjadi pemimpin gerakan Islam terbesar di Mesir bernama Ikhwanul Muslimin masih sempat merutinkan makan bersama keluarganya, berbelanja kebutuhan rumahtangganya, mencatat dan mem-file-kan dokumen-dokumen anak-anaknya, meluangkan waktu untuk anak-anaknya, memasak untuk keperluannya dan tamunya, dan pekerjaan-pekerjaan yang sangat tidak “heroik” lainnya. Saya membacakan itu untuk memulai bahasan bahwa ada tanggungjawab besar yang mengikuti laki-laki kemanapun ia pergi. Menikah, maupun menunda untuk menikah, aka nada konsekuensi yang selalu mengikuti. Menikah, bukan berarti kemudian selalu akan berakhir dengan cerita akan bertemu dengan wanita cantik yang selalu lemah lembut, akan selalu mendapatkan pijatan ketika lelah pulang kantor, dan segala macam keindahan pernikahan lainnya.

Saya mengajak para lelaki muda itu untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi setelah kita menikah. Punya istri, tentu, punya mertua, mungkin juga punya anak, atau juga tidak punya anak. Setelah menikah, seketika menjadi kepala keluarga yang wajib memberikan nafkah halal kepada anak istri. Apakah setelah menikah maka semuanya menjadi indah dan enak? Kalau yang dimaksud enak adalah banyak hal yang bisa kita nikmati pasca pernikahan, maka itu benar. Akan tetapi kalau yang dimaksud enak adalah kita memiliki pelayan pribadi, bisa bersantai sepulang kantor sambil baca portal berita dan ada pisang goreng, serta teh manis yang dibuatkan istri, belum tentu. Bisa jadi sepulang kantor malah harus melayani pertanyaan bertubi-tubi dari anak-anak, harus menemani mereka belajar, harus mendengarkan curhatan istri, kemudian menidurkan anak-anak, dan baru bisa rebahan. Mungkin juga masih harus memikirkan susu yang mau habis, mengatur penghasilan, menyediakan tempat tinggal yang layak untuk keluarga, dan pikiran-pikiran lain yang tidak akan ada sebelum kita menikah.

Apakah kemudian setelah menikah akan lebih mudah menghindari zina? Ya dan tidak. Anak-anak muda yang saya ajak ngobrol itu, setahu saya, adalah mereka yang sangat menjaga hubungan dengan lawan jenis. Maka salah satu motivasi menikah adalah untuk menghindari hubungan tak halal dengan wanita. Maka menikah memang jadi solusi. Tapi bisa jadi ada kalanya istri ternyata tak lebih menarik dari wanita-wanita di luar yang memang lebih pintar dandan dan menunjukkan kelebihan dari tubuh yang mereka miliki. Apakah kemudian mereka yang menikah akan selalu terhindar dari zina? Ya. Tapi dalam kenyataannya, banyak suami yang berselingkuh atau malah jajan di sembarang tempat.

Kemudian pembicaraan kami tersebut ditutup dengan kesimpulan bahwa ada satu tanggungjawab besar yang ada di pundak laki-laki. Apa yang kemudian menjadikan pernikahan itu berhasil? Tanggungjawab laki-laki. Apa yang kemudian membuat seorang laki-laki mau menikahi seorang wanita? Tanggungjawab. Apa yang membuat seorang suami yang sebenarnya dengan mudah ia menjatuhkan talak kepada istrinya hanya dengan kata-kata tapi tak ia lakukan? Tanggungjawab. Apa yang membuat laki-laki sebenarnya punya banyak kesempatan untuk mencari kesenangan dengan wanita lain tapi tak ia lakukan? Tanggungjawab. Maka pernikahan itu membutuhkan tanggungjawab yang sangat besar dari seorang laki-laki. Apakah istri tak punya tanggungjawab? Punya, tapi saya tak berencana membahasnya.

Setelah kami berbincang mengenai tanggungjawab, saya ajak mereka untuk memikirkan betapa ringannya tanggungjawab itu kalau sebagian persoalan sudah selesai. Maksud saya begini, seorang laki-laki akan menikahi wanita itu apabila menemukan beberapa alasan dari empat hal berikut : kecantikan, keturunan yang baik, kekayaan, dan agamanya. Wanita sempurna adalah yang memiliki empat hal itu. Akan tetapi sayangnya sangat jarang wanita yang memiliki semuanya. Ketika sempurna itu ada empat pilar, maka biasanya wanita hanya memiliki seperempatnya, dua perempatnya, tiga perempatnya, atau bahkan kurang dari itu. Ada wanita cantik tapi keturunannya tidak bagus, agamanya tidak bagus. Ada wanita kaya tapi tidak cantik, tidak juga bagus agamanya. Ada yang bagus agamanya, tapi kurang cantik, kurang kaya juga. Maka memilih hal-hal sulit seperti itu butuh sebuah tanggungjawab dari laki-laki. Semua pilihan akan ada konsekuensinya. Kalau Nabi Muhammad menganjurkan untuk memilih yang baik agamanya. Tapi mereka yang baik agamanya, belum tentu yang cantik rupanya, atau yang kaya hartanya. Tapi menurut saya, memilih yang baik agamanya, berarti separuh persoalan sudah selesai. Anda tak perlu was-was meninggalkannya di rumah, atau membiarkannya keluar rumah. Anda tak perlu was-was akan madrasah pertama anak-anak anda, karena ada ibu salihat yang membimbingnya. Anda mungkin sesekali kepincut dengan menornya dandanan wanita di luar sana, tapi istri salihat tahu bagaimana menyenangkan suami di rumah sampai akhirnya tak lagi sempat memikirkan wanita lain di luar rumah. Bagaimana kalau kita lebih mementingkan kecantikan, harta, atau keturunan daripada agamanya? Ya boleh-boleh saja, hanya saja siap-siap dengan konsekuensi yang akan mengikutinya. Semua pilihan punya konsekuensi, tapi memilih agama, memiliki konsekuensi yang lebih mudah untuk dilalui seorang laki-laki, apalagi kalau ia mencita-citakan keluarga surgawi.

Begitulah, laki-laki ketika akan menikah, dan sudah menikah akan memiliki tanggungjawab yang sangat besar. Sebelum menikah, bertanggungjawab untuk memilihkan calon ibu yang baik buat anak-anaknya kelak. Setelah menikah, bertanggungjawab atas wanita yang dinikahinya dan anak-anak yang dilahirkan keluarga mereka. Maka pandai-pandai memposisikan diri dalam memilih istri menjadi langkah awal dalam mengemban tanggungjawab itu. Buka mata lebar-lebar sebelum menikah, dan tutup mata rapat-rapat setelah menikah. Sayangnya, selebar apapun membuka mata, tak akan ada wanita sempurna di dunia ini. Maka kriteria apa yang Anda prioritaskan?

Yuk, Tuan-tuan, siapkan nikah kita…

20/03/13

Cara Mudah Tambah Daya PLN


Saya ingin bercerita tentang pengalaman menambah daya listrik di rumah melalui layanan resmi PLN. Daya 900 watt yang terpasang di rumah ternyata sudah tidak mencukupi kebutuhan pemakaian alat-alat rumah tangga. Atau MCBnya yang sudah soak, yang pasti sedikit-sedikit listrik mati karena tidak mampu melayani kebutuhan pemakaian di rumah. Akhirnya kami memutuskan untuk menambah daya instalasi listrik di rumah. Kebetulan tetangga depan rumah kami membuka jasa teknik yang dulu pernah menawarkan untuk menambah daya dengan biaya sekitar 300 ribu rupiah. Menggiurkan, pikir saya saat itu. Ketika kemudian benar-benar berniat untuk menambah daya listrik, saya mencoba untuk mencari-cari informasi, dengan satu-satunya andalan saya ketika disibukkan oleh pekerjaan, yaitu internet. Dari sana saya mendapatkan informasi bahwa untuk mengajukan permohonan tambah daya, bahkan pasang baru tidak harus datang langsung ke PLN. Bisa dengan menelp ke 123 atau (021)123 lewat HP atau lewat http://pln.co.id.

Saya penasaran mencari tahu review tentang pengalaman pasang listrik atau tambah daya melalui online ini. Hanya sedikit yang mereview, dan salah satu dari yang menuliskan pengalaman tersebut menyebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan adalah sekitar sepekan. Kalau saya minta tolong ke tetangga itu, mungkin besoknya bisa langsung dipasang. Tapi kalau saya lewat PLN, bisa jadi lebih dari sepekan baru dipasang, sementara kebutuhan menambah daya sudah agak mendesak. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya memilih menggunakan layanan resmi PLN. Memakai jasa pihak di luar PLN mungkin terkesan lebih simpel dan bisa jadi lebih cepat, tapi berarti melanggengkan praktik percaloan, sementara ada layanan resmi yang bisa diakses hanya dengan jari.

Akhirnya lewat http://www.pln.co.id/pbpd/PD.php saya mengisi aplikasi, kemudian dapat email, dan membayar lewat ATM. Biaya yang diperlukan untuk menambah daya dari 900 ke 1.300 watt sekitar Rp.323.000,00. Hari Jumat saya transfer, sampai hari Senin belum ada kabar dari PLN, baik itu kapan kira-kira akan dipasang maupun status permohonan saya. Saya melacak lewat situs PLN, saat itu juga tidak bisa diakses, entah kenapa penyebabnya. Kemudian saya menelpon ke call center 123 menanyakan status permohonan dan kapan kira-kira akan dipasang. Jawaban dari mbak-mbak call center, ternyata SOP di PLN untuk tambah daya adalah 10 hari kerja, Sabtu-Minggu tidak dihitung. “Yaah… masih lama dong”, agak dongkol karena tadinya mengharapkan waktu yang tidak terlalu lama. Tapi karena sudah terlanjur membayar ya mau gimana lagi.

Besoknya, hari Selasa, sekitar jam 15.00 saya mendapat telpon dari petugas PLN yang mengabarkan kalau sudah di dekat rumah dan siap untuk memasang. Lah, katanya masih lama, dan gak ada pemberitahuan apa-apa sebelumnya. Untuk ada khadimat (Asisten RT -red) dan tukang di rumah, jadi tidak masalah walaupun kami di kantor dan tidak bisa serta merta ke rumah. Dan bereslah, akhirnya rumah kami terpasang 1.300 watt (harusnya nambah ke 2.200 watt sih, tapi biayanya sekitar 900 ribuan, lagi agak cekak, hehe). Meteran listrik diganti baru dengan model prabayar, dan petugas PLN tersebut tak meminta imbalan apa-apa lagi. Bravo PLN!
Langkah menambah daya PLN lewat internet :
2.       Isi data pelanggan (cukup masukkan nomor ID pelanggan dan nanti akan keluar sendiri datanya)
3.       Isi data pemohon (kalau data pemohon dan pelanggan sama, tinggal klik “Copy berdasarkan data pelanggan”, maka akan otomatis terisi)
4.       Isi form dengan lengkap
5.       Konfirmasi akan dikirimkan melalui email, kemudian kita diharuskan melakukan konfirmasi dengan mengklik alamat yang disediakan untuk dapat nomor registrasi untuk pembayaran
6.       Bayar di ATM dengan menu Pembayaran PLN dan memasukkan nomor registrasi tersebut
7.       Tinggal tunggu petugas PLN datang deh.
Masukan saya untuk PLN :
1.       Hendaknya lebih interaktif terhadap pelanggan. Misal, ketika pelanggan sudah melakukan pembayaran, yang berarti dia serius untuk mengajukan permohonan, bisa dihubungi melalui telp untuk mengabarkan kapan kira-kira petugas akan datang
2.       SOP permohonan tambah daya yang sampai 10 hari kerja (walaupun realisasinya di tempat saya jauh lebih cepat dari itu) saya rasa agak terlalu lama. Mungkin bisa dibedakan SOP antara daerah-daerah yang sulit dijangkau dan yang mudah dijangkau serta diinformasikan kepada pelanggan, agar pelanggan dapat memperkirakan kapan akan dipasang.
Anyway, saya mendukung perbaikan PLN dan perbaikan yang dilakukan oleh perusahaan maupun instansi-instansi pemerintah yang lain. Bravo Indonesia!

27/07/11

Menemani Istri Melahirkan (Cerita dan Panduan)

Beberapa hari yang lalu ada sahabat kami yang sedang dirundung galau karena anaknya tak kunjung lahir meski sudah lewat dari hari perkiraan lahir yang diperkirakan oleh dokter. Sebenarnya lewat dari HPL asal kondisinya sehat, itu merupakan hal biasa. Tapi karena anak pertama bagi sahabat kami itu, tentu itu jadi penantian yang mendebarkan. Bukan hanya karena khawatir akan kesehatan janin dan ibunya, tapi lebih karena ingin segera melihat buah hatinya lahir ke dunia.

“Ayo cepat keluar, nanti kita main bersama...”, mungkin seperti itu yang ia ucapkan kepada bayi di perut istrinya, sama seperti yang saya ucapkan ketika anak saya dulu masih dalam kandungan. Sahabat kami itu sedang tugas belajar di Jakarta dan istrinya akan melahirkan di Klaten, kampung halaman mereka. Dan mungkin karena tak mampu lagi menahan kegelisahannya, suatu sore ia memutuskan untuk pulang ke Klaten. Subhanallah, besoknya anaknya lahir. Kalau kata orang-orang, anaknya memang sengaja ingin ditunggui ayahnya waktu lahir J.

Saya jadi teringat saat anak pertama kami lahir. Saya juga sedang tugas belajar di Jakarta, sedang istri saya, karena anak pertama, ingin melahirkan di dekat orangtuanya di Solo. Waktu hari perkiraan lahir, saya sengaja pulang ke Solo untuk menemani kelahiran buah hati kami. Menunggu sampai beberapa hari, ternyata tak ada tanda-tanda bahwa anak kami sudah akan lahir. Akhirnya saya kembali ke Jakarta. Dua hari kemudian, istri mengabarkan bahwa sudah ada tanda kelahiran pada saat malam hari. Saya memintanya untuk tenang, karena biasanya kata orang-orang anak pertama itu agak lama prosesnya. Apalagi waktu itu baru keluar darah dan belum keluar ketuban. Besok paginya baru dibawa ke rumah sakit. Ternyata masih bukaan satu. Dan saya, masih ada satu mata kuliah yang harus diikuti di kampus. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari tiket pesawat sore ke Solo. Kalau sore, biasanya jam 7 baru mendarat di Solo. Sambil terus memantau perkembangan, dan ternyata bukaannya baru bertambah sedikit. Sampai sore pun belum bertambah bukaannya. Akhirnya saya sampai di bandara Adi Soemarmo Solo jam 7 malam, dan sampai rumah sakit sekitar jam 8 malam. Di sana sudah mendapati isri yang sedang kesakitan. Dan bodohnya saya, saya seperti orang yang tak mampu berbuat apa-apa. Melihat istri kesakitan karena kontraksinya sudah semain sering, saya hanya diam da istighfar dalam hati. Mungkin karena itu, istri saya meminta saya untuk memanggil mama mertua menemaninya. Peraturan di rumahsakit itu, persalinan hanya boleh ditemani oleh satu orang. Itu berarti, saya harus menunggunya di luar. Di luar, saya menelpon bapak yang sedang menunaikan ibadah haji di Makkah, minta didoakan agar kalahiran cucunya dimudahkan oleh Alloh.

Akhirnya jam 2 dini hari, anak saya lahir. Prosesnya ditemani oleh mama mertua. Dan saya? Waktu itu posisinya sedang tertidur di kursi, hehe. Saya tak tahu bagaimana proses persalinannya, dan saya merasa sangat menyesal karenanya.

15 bulan kemudian, tiba waktunya istri saya untuk melahirkan anak ke dua. Kami memutuskan untuk anak ke dua ini, kelahirannya dilakukan di Jakarta, tidak perlu pulang ke Solo atau Magelang. Biar lebih mandiri, dan tidak perlu bolak balik Jakarta-Solo/Magelang. Persalinannya dilakukan di klinik bersalin yang tidak jauh dari rumah. Tidak ada keluarga yang datang, tentu saja berarti saya harus menemani persalinan istri. Berbekal pengalaman sewaktu menemani persalinan anak pertama kami, maka pada kesempatan ke dua ini, saya berusaha untuk menjadi suami yang baik dan dapat diandalkan oleh istri saya. Pagi-pagi sewaktu bangun tidur, istri menyadari bahwa ketubannya sudah mulai pecah. Setelah anak kami mandi, saya mengajaknya memeriksakan ke klinik. Di sana diketahui ternyata sudah bukaan tiga, dan ketubannya baru merembes, jadi masih aman. Kami pulang dulu dan menunggu perkembangan. Jam 12, kembali lagi ke klinik untuk menanyakan perkembangan kondisi kandungan dan kapan kemungkinan lahir. “Mungkin malam, pak”, kata bu bidannya. Tapi kami memutuskan untuk menunggu di klinik. Ba’da Ashar, istri sudah merasa tak tahan dan langsung dipindahkan ke ruang persalinan. Melihat istri kesakitan dan proses lahirnya anak saya, utnuk pertama kali dalam hidup saya, mata tiba-tiba jadi berkunang-kunang dan hampir hilang kesadaran. Mungkin ini yang disebut orang sebagai mau pingsan. Saya pun keluar ruangan sebentar untuk menenangkan dan menguatkan diri. Dan akhirnya, saya berhasil melaluinya, menemani istri melahirkan, menguatkannya, memegang tangannya, dan melihat saat-saat anak kedua kami lahir ke dunia. Dan sesaat setelah anak kami lahir dan menunjukkan tangis kencangnya, mama mertua sampai di rumah sakit setelah terbang dari Solo.

Saya tak tahu seberapa penting bagi seorang istri ketika melahirkan, suaminya ada di sampingnya. Saya belum sempat bertanya pada istri. Tapi bagi suami, ternyata hal itu sangat membanggakan dan harus dilakukan. Melihat perjuangan istri melahirkan, saya yakin tak ada suami yang tak luluh kemudian semakin mencintai istrinya.

Apakah anda pernah menemani istri bersalin? Silakan berbagi pengalaman Anda lewat tulisan. Boleh dengan berkomentar pada kolom di bawah blog ini :D.

Anda bercita-cita dan ingin sekali menemani istri melahirkan? Berikut saya copy pastekan panduan bagi seorang suami yang akan menemani istrinya melahirkan. Diambil dari majalah Ayah Bunda.

Jangan pingsan. 
Anda tentunya harus mengetahui apakah Anda takut dan phobia darah atau tidak? Dan ketahuilah, Anda harus siap melihat kesakitan istri ketika melahirkan, terutama jika istri Anda melahirkan secara normal. Jangan sampai pingsan, karena akan mengganggu proses persalinan.

Jangan sibuk SMS-an, memotret tanpa seizin istri atau melakukan kegiatan lainnya dengan hp Anda. 
Pada saat-saat melahirkan, istri tentunya sangat membutuhkan perhatian dan dukungan Anda. Dengan melakukan kegiatan lain, perhatian Anda akan terpecah.

Jangan blank alias tidak tahu apa-apa tentang proses persalinan. 
Sebelum Anda 'nyemplung' ke ruang bersalin, bekali diri dengan ilmu seputar seluk beluk persalinan.

Jangan panik. 
Tetap tenang akan memudahkan Anda berpikir jernih saat mengambil keputusan. Lagipula, disaat-saat penuh perjuangan seperti itu, istri Anda membutuhkan penguatan dan penenangan Anda.

Jangan hanya menonton. 
Coba pelajari cara menjadi pendamping yang efektif bagi istri Anda. Dengan demikian istri Anda benar-benar merasa didukung dan dikuatkan oleh Anda.

Jangan segan meminta kerabat keluar dari ruang bersalin jika istri merasa terganggu. 
Tetap sopan namun tegas bertindak.

Jangan nekat melihat bayi keluar bila tidak tahan melihat darah. 
Jangan sampai Anda malah pingsan begitu menyaksikannya. Namun jika Anda merasa kuat, tidak apa-apa.

Jangan mengabaikan istri setelah bayi lahir. 
Kelahiran bayi memang yang paling ditunggu-tunggu. Namun jangan abaikan istri yang telah berjuang melahirkan. Beri istri ucapan selamat telah menjadi seorang ibu.

Nah, sudah siap menjadi ayah dan suami yang hebat?

20/07/11

Puisi untuk Anakku

Ayo nak, duduk di pangkuanku
Akan aku ceritakan tentang kisah-kisah Rasul yang harus jadi pengetahuanmu
Akan kukisahkan sunnah-sunnah nabimu dan para sahabat yang nantinya akan engkau gugu
Tetang indahnya ukhuwah yang membuat kita ingin meniru

Mari nak, duduk di sini sama abi
Kita belajar tentang bagaimana membaca kitab suci
Tentang harokat dan bunyi huruf ini
Orang bilang, ini namanya mengaji

Anakku sayang
Jadilah engkau setegar batu karang
Karena hidupmu akan penuh dengan ujian
Waktumu tidak boleh kau gunakan kecuali untuk perjuangan

Nak...
Ikut umi-mu dulu
Abi mau (belajar) renang di situ
Karena ngajarin kamu renang itu kewajibanku
Dan aku gak mau menyuruhmu tanpa melakukan dulu

Setelah itu akan kuajak kau memanah dan naik kuda
Kalau gak ada panah, kita main air soft gun saja
Nanti kita sewa
Karena kalau beli mahal harganya

Oh nak
Semoga abi-mu tidak lupa
Bahwa kau hanyalah titipan Alloh semata
Yang bisa diambil kapanpun Dia meminta

Tugas abi hanyalah menjalankan amanah dari Yang Maha Kuasa
Sambil bertawakal atas apa yang dikehendakiNya
Semoga kita sampai pada masanya
Saat aku mengajarimu dan bercerita tentang dunia

19/07/11

Pernah dalam Sejarah Cinta Kita

Pernah dalam sejarah cinta kita, kau dan aku duduk berdua di pinggir pantai nan indah. Entah apa yang kita lakukan, sampai-sampai ada kawan yang mengirim sms mengungkapkan betapa irinya atas pernikahan kita.

Pernah dalam sejarah cinta kita, kau menangis tanpa tahu sebabnya, dan aku bingung karena tak menemukan juga sebabnya.

Pernah dalam sejarah cinta kita, sate ayam dan nasi padang menjadi menu terenak yang kita nikmati. Tidak hanya karena memang lezat, tapi lebih karena porsinya sebenarnya tak cukup untuk kita makan berdua. Kita hanya membeli sebungkus untuk dimakan berdua, karena memang waktu itu finansial kita tak mencukupi untuk membeli dua bungkus nasi.

Pernah dalam sejarah cinta kita, aku merasa sangat bersalah ketika di akhir bulan tak ada uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita. Tapi tak pernah sekalipun kau protes dan menggerutu karena hal itu.

Pernah dalam sejarah cinta kita, kau tiba-tiba menangis di angkot yang kita naiki. Sampai-sampai aku harus mengajakmu turun dari angkot itu. Telingamu sedang sakit, sedangkan angkot itu menyetel musik dengan sangat keras, dan sopirnya terlalu bebal untuk menuruti keinginan kita agar mengecilkan volumenya.

Pernah dalam sejarah cinta kita, kau dan aku saling berpelukan dalam tangis. Ketika tak jua muncul janin yang kita rindukan di rahimmu. Tapi pernah juga dalam sejarah cinta kita, kita berpelukan dalam tangis, sesaat setelah pemilu waktu itu. Di pagi yang lelah, alat tesnya ternyata menunjukkan dua garisnya.

Pernah dalam sejarah cinta kita, kau dan aku sama-sama ingin berbuka puasa dengan kelapa muda. Aku membelikanmu dua kelapa, untuk kita kupas di rumah. Di jalan, ternyata tali yang menopang kelapanya putus, jatuhlah satu kelapa kita ke got. Sampai di rumah, aku mengupas satu kelapa untukmu. Menyimpannya di kulkas. Ketika hendak menyantap sore harinya, entah bagaimana, tumpahlah kelapa muda itu. Dan akhirnya kita tak jadi menikmatinya.

Pernah dalam sejarah cinta kita, kau menjadi inspirasi penguat iman dan prinsipku. Hidup di rantau kadang menjadi hal yang tak mudah untuk dilalui. Dan sepertinya, tanpa dukunganmu di waktu-waktu itu, akan menjadi jauh lebih sulit lagi untuk melaluinya.

Pernah dalam sejarah cinta kita, kemudian tiba-tiba ada dua anak yang menyempurnakan puzzle cerita kita. Tiba-tiba saja. Rasanya baru kemarin kita kemanapun hanya berdua, dan sekarang tangan-tangan kecil itu membuat kita tak nyaman lagi kalau hanya pergi berdua saja.

Pernah dalam sejarah cinta kita, aku mencintaimu begitu dalam. Dan semoga selalu dalam sejarah cinta yang kita ukir bersama, cinta itu akan terus menyala dan tak pernah padam. Cintaku, cintamu, cinta anak-anak kita, dalam semangat untuk mencintai-Nya.

Pernah dalam sejarah cinta kita, kemudian aku senang menuliskan perjalanan kita. Agar suatu saat tak pernah kita lupa, bahwa kita melalui perjalanan indah dalam cinta kita.

05/07/11

Gagap Menapaki Jalan Cinta

Tentu saja aku tak akan melupakan hari itu. Tanggal 7 Juli 2007, malam hari. Sesaat setelah mengikrarkan akad nikah, dan menyalami tetamu yang berkenan hadir menyaksikan peristiwa agung bagi kami itu. Para undangan sudah pulang ke rumah masing-masing. Dan akupun masuk kamar. Harum melati langsung merasuki hidungku, menandakan bahwa itu adalah kamar pengantin. Di sana sudah menunggu seorang gadis yang baru saja aku nikahi. Duduk di atas kasur yang beralaskan sprei dan bedcover warna merah jambu. Lantas, aku harus bagaimana?

Aku sangat yakin telah mengkhatamkan berbagai buku yang membahas tentang pernikahan. Termasuk, tentu saja tidak melewatkan pembahasan tentang apa yang harus dan bisa dilakukan di malam pengantin. Doa untuk istriku juga sudah aku hafal berulang kali. Tapi di mana-mana, teori tak pernah semudah dan sama persis dengan praktiknya. Dan pertanyaan besar sekarang adalah, harus mulai dari mana? Apa yang harus aku ucapkan untuk istriku? Mulai dari senyum? Senyum yang bagaimana yang memikat sekaligus menjaga wibawaku sebagai suami? Ah, harusnya ini juga jadi hal yang aku persiapkan secara detil, termasuk dialognya.

Terkadang Hanya Karena Tak Tahu

Bagaikan planet Mars dan Venus, kata sebuah buku, maka laki-laki dan perempuan itu berbeda hampir di semua hal. Saya tergagap-gagap ketika awal pernikahan mendapati istri yang tiba-tiba diam tak mau bicara. Kalau marah, pikir saya, bicarakan dengan baik-baik dong, agar saya tahu kesalahan saya dan bisa saling memperbaiki. Tapi sebagaimana kegagapan saya dalam melayani ke-ngambeg-annya, istripun tak mudah begitu saja menyampaikan apa yang dirasakan kepada suaminya.  Lain waktu di awal-awal pernikahan pula, kadang saya dibingungkan dengan sebuah kata yang sering dilontarkan istri. “Terserah...”, katanya setiap saya menawarkan apakah ia ingin makan sesuatu atau ingin dibelikan sesuatu. Dan butuh waktu bertahun-tahun untuk mengartikan kata “terserah” itu, bahkan sampai sekarang pun kadang saya masih tak berhasil mengartikan kata “terserah”-nya.

Kegagapan dalam menapaki jalan cinta menjadi hal yang lumrah bagi mereka yang memutuskan untuk menikah tanpa pacaran terlebih dulu. Bahkan mungkin yang sudah pacaranpun tak akan sepenuhnya bebas dari syndrome gagap ini. Wanita kadang membayangkan bahwa pernikahan itu adalah memiliki pangeran yang akan membawanya naik kuda keliling kebun bunga dan berhenti di bawah pohon apel sambil menyanyikan lagu cinta dengan gitar dan suaranya yang merdu. Tapi sayang, tak semua laki-laki berani naik kuda, dan tak semua laki-laki bisa bermain gitar dan menyanyi dengan merdu. Wanita tentu saja juga menyenangi pujian dan rayuan, meski sebenarnya dia tahu bahwa sebenarnya tak semua dari rayuan itu benar.

“Wajahmu bersinar bagai rembulan...”, kata-kata yang diimpikan akan keluar dari mulut suaminya untuknya. Padahal dia juga tahu bahwa tak ada yang sama antara wajahnya dan sinar rembulan. Kalau sama dengan rembulan, berarti bulet dan tembem dong, hehe. Sedangkan laki-laki beranggapan bahwa, dengan perhatian dan sikap yang ditunjukkannya seharusnya itu sudah lebih dari cukup untuk menyatakan cinta yang tulus kepada istrinya. Tak perlu puitis, tak perlu dengan kata-kata, karena nyatanya tak semua laki-laki pandai mengungkapkannya.

Begitulah, kita saling gagap menapaki jalan cinta kita masing-masing. Gagap karena tak tahu bagaimana cara meminta, gagap karena tak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan, gagap karena tak tahu bagaimana cara merespon keinginan pasangan, gagap karena tak tahu bagaimana cara tepat untuk mengekspresikan kemarahan.

Maka yakinlah, ketika kita mendapati pasangan yang tidak melakukan hal sesuai keinginan kita, bukan berarti bahwa ia tidak mencintai kita. Ia hanya gagap, sebagaimana kita juga gagap ketika menyikapi berbagai hal yang ada padanya. Dan esensi cinta adalah memberi. Maka berikanlah cinta tulus kita kepada pasangan, niscaya kegagapan-kegagapan itu akan semakin memudar. Dan bantulah pasangan agar lebih mudah mengatasi kegagapannya dalam mencintai dan mengekspresikan cintanya kepada kita.

Selamat menapaki jalan cinta...



29/06/11

Mengikhlaskan Istri untuk Pergi

Satu kalimat yang saya utarakan ketika akan meminang calon istri saya dulu adalah, “Ukhti, bersediakah untuk ikut berdakwah di Ternate?”. Satu pertanyaan yang kemudian disanggupinya, tapi ternyata memiliki konsekuensi tak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Kami berdua memang mempunyai cara pandang terhadap hidup yang sangat mirip. Di manapun berada, haruslah memberikan manfaat bukan hanya kepada diri sendiri tapi juga kepada orang lain. Dan ‘berdakwah’, adalah bahasa lain dari itu. Maka selepas nikah dan memboyong istri ke Ternate, Maluku Utara, sesegera mungkin mencari aktivitas yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar.

Pada saat itu, kami sama-sama karyawan yang harus bekerja dari jam 7.30 sampai dengan 17.00. Bekerja lima hari sepekan, terkadang lembur di hari Sabtu. Maka konsekuensi dari ajakan yang saya sampaikan dan persetujuan yang diberikan oleh istri adalah, kami memiliki dua dunia. Pertama adalah dunia kerja, ketika kami hidup di kantor. Ke dua adalah dunia aktivitas kami. Saya aktif di salah satu LSM yang fokus terhadap pembangunan karakter pelajar, istri aktif di kepengurusan Persaudaraan Muslimah (Salimah) Pengurus Wilayah Propinsi Maluku Utara. Tentu saja waktu kami lebih banyak dihabiskan di luar rumah, belum lagi ditambah tugas-tugas kantor saya yang kadang harus ke luar pulau Ternate.

Dua tahun di Ternate, atas izin Alloh kami berdua mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta. Sejenak keluar dari rutinitas kantor. Sudah hampir dua tahun kami pindah di salah satu daerah di Tangerang Selatan ini. Alhamdulillah Alloh mengaruniai kami dua anak yang lahir sewaktu kami melanjutkan pendidikan di sini. Di kampus, selain kuliah, kami juga aktif kembali di organisasi kemahasiswaan. Saya aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa, sedangkan istri aktif di Keputrian Masjid Baitul Maal, semacam organisasi keagamaan yang menangani mahasiswi muslim di kampus. Ditambah harus mengurusi mas Fata dan dek Husna, dua batita kami, waktu yang kami miliki tidak lagi menjadi lebih senggang dibanding ketika kami masih aktif ngantor.

Ketika Rasa Berat untuk Melepasnya

Terkadang, hampir tidak ada akhir pekan yang kami lalui tanpa aktifitas di luar rumah. Kalaupun tidak bersamaan, salah satu dari kami hampir pasti memiliki agenda di akhir pekan. Tentu saja, sebagai suami kadang merasa berat untuk melepaskan istri beraktifitas di luar. Kadang rapat, kadang mengisi kajian, kadang mengisi mentoring adik-adik mahasiswi, kadang mengikuti pelatihan, dll. Hal yang juga saya lakukan sebenarnya. Tapi sebagai laki-laki kadang berpikir, mungkin lebih nyaman kalau istri hanya di rumah saja mengurusi saya dan anak-anak kami. Sebagaimana ibu-ibu rumahtangga lain yang pekerjaan utamanya adalah mengurusi rumah tangga, bukan yang lain.

Tapi tentu saja ketika empat tahun lalu saya meminang calon istri saya yang saya tahu adalah aktivis kampus tulen, yang saya paham bahwa pasti akan jadi PNS karena kami sama-sama kuliah di STAN, salah satu kampus kedinasan yang lulusannya akan jadi pegawai di Kementrian Keuangan, maka konsekuensi akan dua dunia itu niscaya akan saya hadapi. Bahwa dia akan bekerja seharian penuh, dan bahwa dia akan menginfakkan sebagian hidupnya untuk kemanfaatan orang lain. Dan suatu kebanggaan apabila saya bisa menjadi suami yang mendukung setiap aktivitasnya. Toh, ketika dia keluar juga bukan untuk arisan, bukan untuk shopping, maupun untuk bergosip ria dengan ibu-ibu yang lain. Harapannya, ketika saya mendukung semoga saja akan mendapat sebagian pahala dari aktivitasnya J.

Bukan Hanya Tanggungjawab Istri

Keluarga kami memiliki khadimat, yang mengasuh anak-anak dan membereskan pekerjaan rumah dari pagi sampai sore. Satu orang asisten rumah tangga tentu saja tak bisa menangani semua pekerjaan. Apalagi termasuk mengasuh dua anak. Maka tidak semua beban rumahtangga kami bebankan kepada khadimat kami, dan (semoga) tidak pula saya bebankan semuanya kepada istri. Apalagi istri saya selalu terinspirasi dari tulisan-tulisannya Pak Cahyadi Takariawan yang menyebutkan pendapat-pendapat ulama tentang hak dan kewajiban suami. Urusan rumah tangga, termasuk menyediakan makanan ternyata juga menjadi urusan bahkan tanggungjawab suami.

Maka pemahaman baru yang coba saya tanamkan pada diri saya sendiri adalah, bahwa urusan rumahtangga bukan hanya tanggungjawab istri. Masak-memasak, membersihkan rumah, manajemen keuangan keluarga, dan lain sebagainya. Tak mungkin saya memberikan beban berganda kepada istri dengan membiarkannya beraktifitas bahkan bekerja di luar rumah tapi juga membiarkannya sendirian memikirkan kehidupan rumahtangga kami. Tidak mudah memang, apalagi saya memiliki ibu yang full di rumah tanpa beraktifitas di rumah sehingga pemahaman tentang ibu menurut saya awalnya ya bertugas menyelesaikan segala urusan rumah tangga. 

Dari Al-Aswad, saya bertanya kepada Aisyah, “Apa yang dikerjakan Rasulullah saat berada di dalam rumahnya?”  Aisyah menjawab, “Beliau membantu keluarganya jika waktu salat tiba, beliau keluar.”  (HR Bukhari)

Membangun Mimpi Bersama

Hal yang penting menurut kami adalah kesamaan mimpi antara suami dan istri. Mimpi kami adalah membina keluarga yang barokah dengan anak-anak yang salih dan salihat, sekaligus membuat semua keluarga bermanfaat untuk umat dan masyarakat. Maka konsekuensi dari usaha untuk meraih mimpi bersama itu pun juga harus ditanggung bersama. Istri saya bekerja, tentu mempunyai penghasilan yang juga digunakan untuk operasional keluarga kami. Sangat tak elok apabila saya sebagai suami menikmati sebagian dari penghasilannya tapi tak memenuhi haknya untuk dibantu mengurus rumah tangga kami. Dan sepertinya mimpi yang selalu kami bangun setiap saat itu yang membuat kami menikmati berbagai profesi yang melekat. Sebagai suami/istri, sebagai ayah/ibu, sebagai pegawai negeri, sebagai aktivis sosial, sebagai anggota masyarakat, dsb. Sampai sekarang, kami anggap bahwa masing-masing peran itu tidak ada yang bertolak belakang, meski tidak menutup kemungkinan di masa mendatang ada beberapa peran yang harus kami rasionalisasi. Tapi semoga tidak perlu merasionalisasi dua mimpi besar yang kami susun dari awal itu.

Disclaimer

Tentu saja tulisan ini bukan menunjukkan kehebatan kami, karena memang tidak ada yang hebat. Hanya sekedar berbagi, semoga menjadi pengingat kami di lain hari.

Bulak Kelapa di Penghujung Juni

27/06/11

Tidak Harus Kau!

“Tidak harus kau! Tapi aku hanya malu bertemu Tuhanku dalam keadaan membujang”
(Sakti Wibowo, Sepasang Merpati Berkalung Safir)


Waktu itu bulan April 2007. Keinginan dan kegelisahan yang muncul di hatiku semakin kuat. Aku harus menikah. Saat itu juga, atau paling tidak tidak lama-lama dari bulan April.
Pertama, karena sebelumnya aku telah mentargetkan bulan Februari 2007 sebagai bulan pernikahanku, dengan asumsi saat itu sudah berpenghasilan, tapi ternyata meleset.
Kedua, kondisi internal dan eksternal yang seperti mengharuskanku untuk menggenapkan separuh din, sesegera mungkin.
Ketiga, mungkin saja karena saat itu aku baru saja penempatan kerja di Ternate, Maluku Utara, bulan Maret 2007. Mungkin keinginan menikah hanyalah keinginan untuk mencari penghibur dan ‘pembagi sengsara’ di tanah orang. Tapi sepertinya tidak. Keinginan untuk segera menikah tidak muncul hanya ketika berada di Ternate. Keinginan itu sudah muncul bahkan sejak semester dua kuliah di STAN, dan target untuk segera menikah setelah lulus kuliah juga sudah disounding ke orang tua setiap kali pulang saat liburan setelah ujian.

Penantian itu ternyata tidak mudah. “Faktor Ternate ternyata cukup menyulitkan, akh”, kata seorang ustadz yang saya mintai tolong untuk mencarikan gadis Jawa yang mau diajak berlayar ke daerah jauh itu. Sebenarnya syarat yang saya ajukan cukup simple, dari Jawa, karena memang sepertinya hanya itu pula syarat dari orangtua.

Sampai akhirnya muncullah nama itu. Nama yang dulu hampir selalu didengar waktu di kampus yang sering mengerjakan amanah bersama-sama, yang katanya kalau dia menikah saya akan diminta jadi saksinya; kini aku ditawarkan dan berkesempatan untuk meminangnya! Rasa ragu menelusup, membayangkan omongan dan persepsi kawan-kawan kalau kami yang dulu sering satu organisasi harus bersatu dalam ikatan pernikahan. Apa kata dunia? Tapi menimbang baik dan buruknya, terutama keinginan yang sangat kuat untuk segera menikah dan faktor bahwa ternyata agak susah mencari yang benar-benar siap diterbangkan ke pulau seberang, membuatku memberanikan diri meminta nomer HP ayah sang akhwat dan langsung menelponnya. Gak usah pakai ta’aruf-ta’arufan. Toh udah kenal. Cukup biodata berlembar-lembar darinya tanpa foto, dan dua lembar biodata dariku dengan foto sisa waktu bikin KTP dulu.

“Mas ini siapa?”, suara di seberang sana sedikit menyadarkanku. Aku langsung berusaha memperbaiki bicaraku. Mengenalkan kembali nama, dan langsung bercerita bahwa ingin meminang putrinya.
“Saya ini kan belum mengenal mas. Belum mengetahui apa mas dari keluarga baik-baik atau tidak. Mana mungkin saya bisa langsung meng-iyakan keinginan mas untuk melamar anak saya?”
“Insya Alloh saya serius, pak. Bahkan saya bisa langsung melamar dengan keluarga saya.”
“Datang dulu ke sini lah. Bicara baik-baik…”

Waduh, datang ke Solo berarti harus menyiapkan uang untuk tiket PP Ternate-Jogja dan ongkos dari Magelang ke Solo. Tiket Ternate-Solo sekitar 1,2 juta waktu itu.
“Iya, pak. Insya Alloh saya akan datang ke rumah”, jawabku mantap meski sebenarnya ketar-ketir masalah biaya.

Dengan meminjam uang dari teman-teman semasa kuliah, akhirnya awal Mei aku pulang. Kalau tidak salah, 13 Mei 2007, dengan ditemani sepupu (gak keren banget sih) datang menemui orang tua akhwat dan langsung menegaskan kembali keinginan untuk menikah. Sesegera mungkin. Alhamdulillah, tidak seperti ketakutan yang dibayangkan, jawaban “oke” langsung diterima dari ayah dan ibu si akhwat. Tidak perlu waktu lama, karena memang tidak boleh ijin kantor berlama-lama, 17 Mei 2007 lamaran resmi dengan keluarga dan diputuskan untuk menggelar pernikahan tanggal 7 Juli 2007, pas liburan sekolah, pas tanggalnya cantik pula.

Masalah ijin sudah didapat, tinggal masalah ke dua yang fundamental. Duit. Teryata gajiku tidak juga beranjak dari angka 850 ribu rupiah. Untuk mas kawin, dan biaya walimah tidak mungkin dilimpahkan semua ke orang tua. Mereka cukup mengurus teknis saja sekaligus menjawab gunjingan para tetangga yang curiga dengan pernikahan mendadak kami. Akhirnya, aku memberanikan diri menyuruh bapak meminjamkan uang dengan perjanjian kalau ada rapelan gaji dari kantor akan kukembalikan sepenuhnya. Dan Alhamdulillah, semuanya lancar.

Dan pernikahan itu terasa sangat mudah. Rizky terus mengalir ketika benar-benar dibutuhkan untuk biaya tiket pesawat dari Ternate ke Magelang dan Solo, atau untuk persiapan yang lain. Rapelan satu demi satu cair, dan hampir selalu pas saat kami membutuhkan, meski sebenarnya masih sangat pas-pasan untuk mempersiapkan sebuah pernikahan. Dan ketika selesai mengajukan cuti menikah, muncul surat yang menyatakan aku harus mengikuti Diklat Prajabatan di Manado sampai tanggal 6 Juli 2007. Jadilah calon pengantin harus ber’prajab’ ria dan menyerahkan segala urusan pernikahan ke keluarga saja. Bahkan aku ingat, 6 Juli 2007 langsung terbang ke Jogja, dan di perjalanan mampir untuk membeli jas yang akan kukenakan waktu akad nikah besoknya.

Alhamdulillah, pernikahan bersejarah itu akhirnya terjadi juga, tepat pada tanggal keren 070707, atas bantuan banyak sekali kawan dan saudara, atas kemurahan Alloh ‘Azza wa Jalla.

Dan setelah 3,5 tahun menikah, aku kembali berpikir. Mungkin dulu memang tidak harus dengan dia aku menikah, yang penting menikah. Tapi sekarang, aku mulai sadar, sepertinya tak akan ada pernikahan jika tidak dengan dia, adinda Inge Febria Aryandari :)

Ads Inside Post