29/06/11

Mengikhlaskan Istri untuk Pergi

Satu kalimat yang saya utarakan ketika akan meminang calon istri saya dulu adalah, “Ukhti, bersediakah untuk ikut berdakwah di Ternate?”. Satu pertanyaan yang kemudian disanggupinya, tapi ternyata memiliki konsekuensi tak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Kami berdua memang mempunyai cara pandang terhadap hidup yang sangat mirip. Di manapun berada, haruslah memberikan manfaat bukan hanya kepada diri sendiri tapi juga kepada orang lain. Dan ‘berdakwah’, adalah bahasa lain dari itu. Maka selepas nikah dan memboyong istri ke Ternate, Maluku Utara, sesegera mungkin mencari aktivitas yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar.

Pada saat itu, kami sama-sama karyawan yang harus bekerja dari jam 7.30 sampai dengan 17.00. Bekerja lima hari sepekan, terkadang lembur di hari Sabtu. Maka konsekuensi dari ajakan yang saya sampaikan dan persetujuan yang diberikan oleh istri adalah, kami memiliki dua dunia. Pertama adalah dunia kerja, ketika kami hidup di kantor. Ke dua adalah dunia aktivitas kami. Saya aktif di salah satu LSM yang fokus terhadap pembangunan karakter pelajar, istri aktif di kepengurusan Persaudaraan Muslimah (Salimah) Pengurus Wilayah Propinsi Maluku Utara. Tentu saja waktu kami lebih banyak dihabiskan di luar rumah, belum lagi ditambah tugas-tugas kantor saya yang kadang harus ke luar pulau Ternate.

Dua tahun di Ternate, atas izin Alloh kami berdua mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta. Sejenak keluar dari rutinitas kantor. Sudah hampir dua tahun kami pindah di salah satu daerah di Tangerang Selatan ini. Alhamdulillah Alloh mengaruniai kami dua anak yang lahir sewaktu kami melanjutkan pendidikan di sini. Di kampus, selain kuliah, kami juga aktif kembali di organisasi kemahasiswaan. Saya aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa, sedangkan istri aktif di Keputrian Masjid Baitul Maal, semacam organisasi keagamaan yang menangani mahasiswi muslim di kampus. Ditambah harus mengurusi mas Fata dan dek Husna, dua batita kami, waktu yang kami miliki tidak lagi menjadi lebih senggang dibanding ketika kami masih aktif ngantor.

Ketika Rasa Berat untuk Melepasnya

Terkadang, hampir tidak ada akhir pekan yang kami lalui tanpa aktifitas di luar rumah. Kalaupun tidak bersamaan, salah satu dari kami hampir pasti memiliki agenda di akhir pekan. Tentu saja, sebagai suami kadang merasa berat untuk melepaskan istri beraktifitas di luar. Kadang rapat, kadang mengisi kajian, kadang mengisi mentoring adik-adik mahasiswi, kadang mengikuti pelatihan, dll. Hal yang juga saya lakukan sebenarnya. Tapi sebagai laki-laki kadang berpikir, mungkin lebih nyaman kalau istri hanya di rumah saja mengurusi saya dan anak-anak kami. Sebagaimana ibu-ibu rumahtangga lain yang pekerjaan utamanya adalah mengurusi rumah tangga, bukan yang lain.

Tapi tentu saja ketika empat tahun lalu saya meminang calon istri saya yang saya tahu adalah aktivis kampus tulen, yang saya paham bahwa pasti akan jadi PNS karena kami sama-sama kuliah di STAN, salah satu kampus kedinasan yang lulusannya akan jadi pegawai di Kementrian Keuangan, maka konsekuensi akan dua dunia itu niscaya akan saya hadapi. Bahwa dia akan bekerja seharian penuh, dan bahwa dia akan menginfakkan sebagian hidupnya untuk kemanfaatan orang lain. Dan suatu kebanggaan apabila saya bisa menjadi suami yang mendukung setiap aktivitasnya. Toh, ketika dia keluar juga bukan untuk arisan, bukan untuk shopping, maupun untuk bergosip ria dengan ibu-ibu yang lain. Harapannya, ketika saya mendukung semoga saja akan mendapat sebagian pahala dari aktivitasnya J.

Bukan Hanya Tanggungjawab Istri

Keluarga kami memiliki khadimat, yang mengasuh anak-anak dan membereskan pekerjaan rumah dari pagi sampai sore. Satu orang asisten rumah tangga tentu saja tak bisa menangani semua pekerjaan. Apalagi termasuk mengasuh dua anak. Maka tidak semua beban rumahtangga kami bebankan kepada khadimat kami, dan (semoga) tidak pula saya bebankan semuanya kepada istri. Apalagi istri saya selalu terinspirasi dari tulisan-tulisannya Pak Cahyadi Takariawan yang menyebutkan pendapat-pendapat ulama tentang hak dan kewajiban suami. Urusan rumah tangga, termasuk menyediakan makanan ternyata juga menjadi urusan bahkan tanggungjawab suami.

Maka pemahaman baru yang coba saya tanamkan pada diri saya sendiri adalah, bahwa urusan rumahtangga bukan hanya tanggungjawab istri. Masak-memasak, membersihkan rumah, manajemen keuangan keluarga, dan lain sebagainya. Tak mungkin saya memberikan beban berganda kepada istri dengan membiarkannya beraktifitas bahkan bekerja di luar rumah tapi juga membiarkannya sendirian memikirkan kehidupan rumahtangga kami. Tidak mudah memang, apalagi saya memiliki ibu yang full di rumah tanpa beraktifitas di rumah sehingga pemahaman tentang ibu menurut saya awalnya ya bertugas menyelesaikan segala urusan rumah tangga. 

Dari Al-Aswad, saya bertanya kepada Aisyah, “Apa yang dikerjakan Rasulullah saat berada di dalam rumahnya?”  Aisyah menjawab, “Beliau membantu keluarganya jika waktu salat tiba, beliau keluar.”  (HR Bukhari)

Membangun Mimpi Bersama

Hal yang penting menurut kami adalah kesamaan mimpi antara suami dan istri. Mimpi kami adalah membina keluarga yang barokah dengan anak-anak yang salih dan salihat, sekaligus membuat semua keluarga bermanfaat untuk umat dan masyarakat. Maka konsekuensi dari usaha untuk meraih mimpi bersama itu pun juga harus ditanggung bersama. Istri saya bekerja, tentu mempunyai penghasilan yang juga digunakan untuk operasional keluarga kami. Sangat tak elok apabila saya sebagai suami menikmati sebagian dari penghasilannya tapi tak memenuhi haknya untuk dibantu mengurus rumah tangga kami. Dan sepertinya mimpi yang selalu kami bangun setiap saat itu yang membuat kami menikmati berbagai profesi yang melekat. Sebagai suami/istri, sebagai ayah/ibu, sebagai pegawai negeri, sebagai aktivis sosial, sebagai anggota masyarakat, dsb. Sampai sekarang, kami anggap bahwa masing-masing peran itu tidak ada yang bertolak belakang, meski tidak menutup kemungkinan di masa mendatang ada beberapa peran yang harus kami rasionalisasi. Tapi semoga tidak perlu merasionalisasi dua mimpi besar yang kami susun dari awal itu.

Disclaimer

Tentu saja tulisan ini bukan menunjukkan kehebatan kami, karena memang tidak ada yang hebat. Hanya sekedar berbagi, semoga menjadi pengingat kami di lain hari.

Bulak Kelapa di Penghujung Juni

6 komentar:

  1. even nggak LDR, ternyata momen berduaan bareng istri termasuk barang yang susah ditemukan ya bro, apalagi yg LDR. makanya ane juga beruntung banget bisa memaksimalkan kehadiran istri di sisi, sesingkat apapun waktu yg tersedia. maklum, orang sok sibuk juga hehe :p

    BalasHapus
  2. Dan doa utama ane salah satunya adalah biar gak usah dikasih kesempatan LDR, meski cuma sebentar :D

    BalasHapus
  3. iya kalo bisa jangan. bisa cenatcenut terus nih kepala :p

    BalasHapus
  4. yang, pulang yok!!! baca ini jadi males kerja..keke

    BalasHapus
  5. kemarin anak saya yg pertama berkomentar, "abi, kok kalau libur gantian terus sih sama umi? ummi pergi, abi di rumah. abi pergi, ummi di rumah.". pasalnya, tiap sabtu dan minggu ya keluar juga, tp seringnya bergantian, klo istri ngisi mentoring ya saya ngasuh anak. begitu sebaliknya. mendengar kritikan si sulung, tertegun juga, suatu saat kau akan mengerti, nak. :)

    BalasHapus
  6. Mantap, mas... kalau kami juga sedang bersiap-siap menjelaskan pada anak-anak. Biar mereka gak 'trauma' dan ikut menikmati dengan aktifitas orangtuanya.

    BalasHapus

Ads Inside Post