27/07/11

Menemani Istri Melahirkan (Cerita dan Panduan)

Beberapa hari yang lalu ada sahabat kami yang sedang dirundung galau karena anaknya tak kunjung lahir meski sudah lewat dari hari perkiraan lahir yang diperkirakan oleh dokter. Sebenarnya lewat dari HPL asal kondisinya sehat, itu merupakan hal biasa. Tapi karena anak pertama bagi sahabat kami itu, tentu itu jadi penantian yang mendebarkan. Bukan hanya karena khawatir akan kesehatan janin dan ibunya, tapi lebih karena ingin segera melihat buah hatinya lahir ke dunia.

“Ayo cepat keluar, nanti kita main bersama...”, mungkin seperti itu yang ia ucapkan kepada bayi di perut istrinya, sama seperti yang saya ucapkan ketika anak saya dulu masih dalam kandungan. Sahabat kami itu sedang tugas belajar di Jakarta dan istrinya akan melahirkan di Klaten, kampung halaman mereka. Dan mungkin karena tak mampu lagi menahan kegelisahannya, suatu sore ia memutuskan untuk pulang ke Klaten. Subhanallah, besoknya anaknya lahir. Kalau kata orang-orang, anaknya memang sengaja ingin ditunggui ayahnya waktu lahir J.

Saya jadi teringat saat anak pertama kami lahir. Saya juga sedang tugas belajar di Jakarta, sedang istri saya, karena anak pertama, ingin melahirkan di dekat orangtuanya di Solo. Waktu hari perkiraan lahir, saya sengaja pulang ke Solo untuk menemani kelahiran buah hati kami. Menunggu sampai beberapa hari, ternyata tak ada tanda-tanda bahwa anak kami sudah akan lahir. Akhirnya saya kembali ke Jakarta. Dua hari kemudian, istri mengabarkan bahwa sudah ada tanda kelahiran pada saat malam hari. Saya memintanya untuk tenang, karena biasanya kata orang-orang anak pertama itu agak lama prosesnya. Apalagi waktu itu baru keluar darah dan belum keluar ketuban. Besok paginya baru dibawa ke rumah sakit. Ternyata masih bukaan satu. Dan saya, masih ada satu mata kuliah yang harus diikuti di kampus. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari tiket pesawat sore ke Solo. Kalau sore, biasanya jam 7 baru mendarat di Solo. Sambil terus memantau perkembangan, dan ternyata bukaannya baru bertambah sedikit. Sampai sore pun belum bertambah bukaannya. Akhirnya saya sampai di bandara Adi Soemarmo Solo jam 7 malam, dan sampai rumah sakit sekitar jam 8 malam. Di sana sudah mendapati isri yang sedang kesakitan. Dan bodohnya saya, saya seperti orang yang tak mampu berbuat apa-apa. Melihat istri kesakitan karena kontraksinya sudah semain sering, saya hanya diam da istighfar dalam hati. Mungkin karena itu, istri saya meminta saya untuk memanggil mama mertua menemaninya. Peraturan di rumahsakit itu, persalinan hanya boleh ditemani oleh satu orang. Itu berarti, saya harus menunggunya di luar. Di luar, saya menelpon bapak yang sedang menunaikan ibadah haji di Makkah, minta didoakan agar kalahiran cucunya dimudahkan oleh Alloh.

Akhirnya jam 2 dini hari, anak saya lahir. Prosesnya ditemani oleh mama mertua. Dan saya? Waktu itu posisinya sedang tertidur di kursi, hehe. Saya tak tahu bagaimana proses persalinannya, dan saya merasa sangat menyesal karenanya.

15 bulan kemudian, tiba waktunya istri saya untuk melahirkan anak ke dua. Kami memutuskan untuk anak ke dua ini, kelahirannya dilakukan di Jakarta, tidak perlu pulang ke Solo atau Magelang. Biar lebih mandiri, dan tidak perlu bolak balik Jakarta-Solo/Magelang. Persalinannya dilakukan di klinik bersalin yang tidak jauh dari rumah. Tidak ada keluarga yang datang, tentu saja berarti saya harus menemani persalinan istri. Berbekal pengalaman sewaktu menemani persalinan anak pertama kami, maka pada kesempatan ke dua ini, saya berusaha untuk menjadi suami yang baik dan dapat diandalkan oleh istri saya. Pagi-pagi sewaktu bangun tidur, istri menyadari bahwa ketubannya sudah mulai pecah. Setelah anak kami mandi, saya mengajaknya memeriksakan ke klinik. Di sana diketahui ternyata sudah bukaan tiga, dan ketubannya baru merembes, jadi masih aman. Kami pulang dulu dan menunggu perkembangan. Jam 12, kembali lagi ke klinik untuk menanyakan perkembangan kondisi kandungan dan kapan kemungkinan lahir. “Mungkin malam, pak”, kata bu bidannya. Tapi kami memutuskan untuk menunggu di klinik. Ba’da Ashar, istri sudah merasa tak tahan dan langsung dipindahkan ke ruang persalinan. Melihat istri kesakitan dan proses lahirnya anak saya, utnuk pertama kali dalam hidup saya, mata tiba-tiba jadi berkunang-kunang dan hampir hilang kesadaran. Mungkin ini yang disebut orang sebagai mau pingsan. Saya pun keluar ruangan sebentar untuk menenangkan dan menguatkan diri. Dan akhirnya, saya berhasil melaluinya, menemani istri melahirkan, menguatkannya, memegang tangannya, dan melihat saat-saat anak kedua kami lahir ke dunia. Dan sesaat setelah anak kami lahir dan menunjukkan tangis kencangnya, mama mertua sampai di rumah sakit setelah terbang dari Solo.

Saya tak tahu seberapa penting bagi seorang istri ketika melahirkan, suaminya ada di sampingnya. Saya belum sempat bertanya pada istri. Tapi bagi suami, ternyata hal itu sangat membanggakan dan harus dilakukan. Melihat perjuangan istri melahirkan, saya yakin tak ada suami yang tak luluh kemudian semakin mencintai istrinya.

Apakah anda pernah menemani istri bersalin? Silakan berbagi pengalaman Anda lewat tulisan. Boleh dengan berkomentar pada kolom di bawah blog ini :D.

Anda bercita-cita dan ingin sekali menemani istri melahirkan? Berikut saya copy pastekan panduan bagi seorang suami yang akan menemani istrinya melahirkan. Diambil dari majalah Ayah Bunda.

Jangan pingsan. 
Anda tentunya harus mengetahui apakah Anda takut dan phobia darah atau tidak? Dan ketahuilah, Anda harus siap melihat kesakitan istri ketika melahirkan, terutama jika istri Anda melahirkan secara normal. Jangan sampai pingsan, karena akan mengganggu proses persalinan.

Jangan sibuk SMS-an, memotret tanpa seizin istri atau melakukan kegiatan lainnya dengan hp Anda. 
Pada saat-saat melahirkan, istri tentunya sangat membutuhkan perhatian dan dukungan Anda. Dengan melakukan kegiatan lain, perhatian Anda akan terpecah.

Jangan blank alias tidak tahu apa-apa tentang proses persalinan. 
Sebelum Anda 'nyemplung' ke ruang bersalin, bekali diri dengan ilmu seputar seluk beluk persalinan.

Jangan panik. 
Tetap tenang akan memudahkan Anda berpikir jernih saat mengambil keputusan. Lagipula, disaat-saat penuh perjuangan seperti itu, istri Anda membutuhkan penguatan dan penenangan Anda.

Jangan hanya menonton. 
Coba pelajari cara menjadi pendamping yang efektif bagi istri Anda. Dengan demikian istri Anda benar-benar merasa didukung dan dikuatkan oleh Anda.

Jangan segan meminta kerabat keluar dari ruang bersalin jika istri merasa terganggu. 
Tetap sopan namun tegas bertindak.

Jangan nekat melihat bayi keluar bila tidak tahan melihat darah. 
Jangan sampai Anda malah pingsan begitu menyaksikannya. Namun jika Anda merasa kuat, tidak apa-apa.

Jangan mengabaikan istri setelah bayi lahir. 
Kelahiran bayi memang yang paling ditunggu-tunggu. Namun jangan abaikan istri yang telah berjuang melahirkan. Beri istri ucapan selamat telah menjadi seorang ibu.

Nah, sudah siap menjadi ayah dan suami yang hebat?

7 komentar:

  1. aslkm abi fata..^^
    salam u inge yaa...

    BalasHapus
  2. 'alaikumussalam, mbak. Kita malah ketemu di blogspot :D

    Insya Alloh nanti disampaikan salamnya :)

    BalasHapus
  3. Saya tambah satu lagi nih... Jangan sakit setelah isteri melahirkan.. ;). Apalagi jauh dari ortu, tapi asal masih ada sahabat seperjuangan sih no problem

    BalasHapus
  4. hehehe... betul, pak. Sebagai suami harus siap fisik dan mental juga menghadapi hal-hal pasca persalinan. Thanks for sharing :)

    BalasHapus
  5. ini bermanfaat buat saya yang belum menikah, jadi bisa tau kalau nanti punya istri dan mau melahirkan, trims udah sharing Mas.

    BalasHapus
  6. suamiku ngorok wkt aku melahirkan. Soalnya ketiga anakku lahir jam 2 malam.

    BalasHapus
  7. Thanx sharingnya..bermanfaat buat saya nih..alhamdulillah istri lg hamil 22 minggu..

    BalasHapus

Ads Inside Post