05/07/11

Gagap Menapaki Jalan Cinta

Tentu saja aku tak akan melupakan hari itu. Tanggal 7 Juli 2007, malam hari. Sesaat setelah mengikrarkan akad nikah, dan menyalami tetamu yang berkenan hadir menyaksikan peristiwa agung bagi kami itu. Para undangan sudah pulang ke rumah masing-masing. Dan akupun masuk kamar. Harum melati langsung merasuki hidungku, menandakan bahwa itu adalah kamar pengantin. Di sana sudah menunggu seorang gadis yang baru saja aku nikahi. Duduk di atas kasur yang beralaskan sprei dan bedcover warna merah jambu. Lantas, aku harus bagaimana?

Aku sangat yakin telah mengkhatamkan berbagai buku yang membahas tentang pernikahan. Termasuk, tentu saja tidak melewatkan pembahasan tentang apa yang harus dan bisa dilakukan di malam pengantin. Doa untuk istriku juga sudah aku hafal berulang kali. Tapi di mana-mana, teori tak pernah semudah dan sama persis dengan praktiknya. Dan pertanyaan besar sekarang adalah, harus mulai dari mana? Apa yang harus aku ucapkan untuk istriku? Mulai dari senyum? Senyum yang bagaimana yang memikat sekaligus menjaga wibawaku sebagai suami? Ah, harusnya ini juga jadi hal yang aku persiapkan secara detil, termasuk dialognya.

Terkadang Hanya Karena Tak Tahu

Bagaikan planet Mars dan Venus, kata sebuah buku, maka laki-laki dan perempuan itu berbeda hampir di semua hal. Saya tergagap-gagap ketika awal pernikahan mendapati istri yang tiba-tiba diam tak mau bicara. Kalau marah, pikir saya, bicarakan dengan baik-baik dong, agar saya tahu kesalahan saya dan bisa saling memperbaiki. Tapi sebagaimana kegagapan saya dalam melayani ke-ngambeg-annya, istripun tak mudah begitu saja menyampaikan apa yang dirasakan kepada suaminya.  Lain waktu di awal-awal pernikahan pula, kadang saya dibingungkan dengan sebuah kata yang sering dilontarkan istri. “Terserah...”, katanya setiap saya menawarkan apakah ia ingin makan sesuatu atau ingin dibelikan sesuatu. Dan butuh waktu bertahun-tahun untuk mengartikan kata “terserah” itu, bahkan sampai sekarang pun kadang saya masih tak berhasil mengartikan kata “terserah”-nya.

Kegagapan dalam menapaki jalan cinta menjadi hal yang lumrah bagi mereka yang memutuskan untuk menikah tanpa pacaran terlebih dulu. Bahkan mungkin yang sudah pacaranpun tak akan sepenuhnya bebas dari syndrome gagap ini. Wanita kadang membayangkan bahwa pernikahan itu adalah memiliki pangeran yang akan membawanya naik kuda keliling kebun bunga dan berhenti di bawah pohon apel sambil menyanyikan lagu cinta dengan gitar dan suaranya yang merdu. Tapi sayang, tak semua laki-laki berani naik kuda, dan tak semua laki-laki bisa bermain gitar dan menyanyi dengan merdu. Wanita tentu saja juga menyenangi pujian dan rayuan, meski sebenarnya dia tahu bahwa sebenarnya tak semua dari rayuan itu benar.

“Wajahmu bersinar bagai rembulan...”, kata-kata yang diimpikan akan keluar dari mulut suaminya untuknya. Padahal dia juga tahu bahwa tak ada yang sama antara wajahnya dan sinar rembulan. Kalau sama dengan rembulan, berarti bulet dan tembem dong, hehe. Sedangkan laki-laki beranggapan bahwa, dengan perhatian dan sikap yang ditunjukkannya seharusnya itu sudah lebih dari cukup untuk menyatakan cinta yang tulus kepada istrinya. Tak perlu puitis, tak perlu dengan kata-kata, karena nyatanya tak semua laki-laki pandai mengungkapkannya.

Begitulah, kita saling gagap menapaki jalan cinta kita masing-masing. Gagap karena tak tahu bagaimana cara meminta, gagap karena tak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan, gagap karena tak tahu bagaimana cara merespon keinginan pasangan, gagap karena tak tahu bagaimana cara tepat untuk mengekspresikan kemarahan.

Maka yakinlah, ketika kita mendapati pasangan yang tidak melakukan hal sesuai keinginan kita, bukan berarti bahwa ia tidak mencintai kita. Ia hanya gagap, sebagaimana kita juga gagap ketika menyikapi berbagai hal yang ada padanya. Dan esensi cinta adalah memberi. Maka berikanlah cinta tulus kita kepada pasangan, niscaya kegagapan-kegagapan itu akan semakin memudar. Dan bantulah pasangan agar lebih mudah mengatasi kegagapannya dalam mencintai dan mengekspresikan cintanya kepada kita.

Selamat menapaki jalan cinta...



3 komentar:

  1. Indahnya menikah tanpa pacaran justru adalah momen kegagapan itu :). Karena gagap bahkan ketika melakukan hal baru yang kecil dan sederhana pun terasa luar biasa sensasinya.

    Tapi kegagapan akan terjadi juga dalam hal memimpin keluarga karena memimpin keluarga berbeda dengan memimpin organisasi formal. Yang harus dilakukan adalah cepat belajar dan cepat dewasa. Suami jangan kaget ketika kadang sang isteri harus mendewasakan sang suami dengan cara menunjukan segudang kekurangan dan kelemahan sang suami.

    Benar kalau dikatakan menikah adalah bagaikan bahtera karena harus selalu menghadapai ombak yang menghadang namun juga kadang menikmati hembusan angin laut yang melenakan... :)

    BalasHapus
  2. mantap, pak Bagus. Terimakasih nasihatnya yang luar biasa...

    Memang suami mau tak mau harus cepat belajar dan cepat dewasa. Like it

    BalasHapus
  3. Mas, saya sekarang sedang bertengkar hebat dengan pacar saya gara2 ngomongin soal pernikahan yang saya bingung maunya apa, pas baca postingan ini saya jadi kangen dengan dia :)

    BalasHapus

Ads Inside Post