10/04/13

Berbincang dengan Para Bujangan


Ahad kemarin saya berbincang dengan beberapa anak muda tentang pernikahan. Bincang-bincang ringan, hanya sedikit dalil, tanpa landasan studi, minim referensi. Anak-anak muda itu semuanya laki-laki, sudah lulus kuliah, sebagian sudah bekerja dan punya penghasilan. Maka saya merasa relevan untuk membahas masalah pernikahan dengan mereka. Membahas pernikahan dengan orang-orang yang mungkin sebentar lagi akan menikah, apalagi dia adalah laki-laki, maka saya merasa bahasan yang relevan untuk dikupas bukan masalah romantisme pernikahan, enaknya menikah, indahnya menikah dengan gadis salihah, dan bahasan-bahasan lain yang sejenis. Kepada para laki-laki itu, saya ingin berbincang mengenai mas’uliyah (tanggungjawab) seorang laki-laki. Bagi mereka, saya anggap ngompor-ngomporin buat nikah dengan menyajikan kisah-kisah dan dalil-dalil tentang romantisme keluarga sudah selesai. Saatnya membahas pernikahan dari sudut pandang laki-laki, dengan lebih serius.

Saya memulai dengan bercerita tentang kehidupan Hasan Al Banna di rumahnya. Kenapa Hasan Al Banna? Karena saat itu, hanya itu bahan yang mudah saya temukan. Saya membaca ringkasan buku “Cinta di Rumah Hasan Al Banna” karangan Muhammad Lili Nur Aulia. Buku itu hanya trigger. Saya membacakan bagaimana Hasan Al Banna yang waktu itu sudah menjadi pemimpin gerakan Islam terbesar di Mesir bernama Ikhwanul Muslimin masih sempat merutinkan makan bersama keluarganya, berbelanja kebutuhan rumahtangganya, mencatat dan mem-file-kan dokumen-dokumen anak-anaknya, meluangkan waktu untuk anak-anaknya, memasak untuk keperluannya dan tamunya, dan pekerjaan-pekerjaan yang sangat tidak “heroik” lainnya. Saya membacakan itu untuk memulai bahasan bahwa ada tanggungjawab besar yang mengikuti laki-laki kemanapun ia pergi. Menikah, maupun menunda untuk menikah, aka nada konsekuensi yang selalu mengikuti. Menikah, bukan berarti kemudian selalu akan berakhir dengan cerita akan bertemu dengan wanita cantik yang selalu lemah lembut, akan selalu mendapatkan pijatan ketika lelah pulang kantor, dan segala macam keindahan pernikahan lainnya.

Saya mengajak para lelaki muda itu untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi setelah kita menikah. Punya istri, tentu, punya mertua, mungkin juga punya anak, atau juga tidak punya anak. Setelah menikah, seketika menjadi kepala keluarga yang wajib memberikan nafkah halal kepada anak istri. Apakah setelah menikah maka semuanya menjadi indah dan enak? Kalau yang dimaksud enak adalah banyak hal yang bisa kita nikmati pasca pernikahan, maka itu benar. Akan tetapi kalau yang dimaksud enak adalah kita memiliki pelayan pribadi, bisa bersantai sepulang kantor sambil baca portal berita dan ada pisang goreng, serta teh manis yang dibuatkan istri, belum tentu. Bisa jadi sepulang kantor malah harus melayani pertanyaan bertubi-tubi dari anak-anak, harus menemani mereka belajar, harus mendengarkan curhatan istri, kemudian menidurkan anak-anak, dan baru bisa rebahan. Mungkin juga masih harus memikirkan susu yang mau habis, mengatur penghasilan, menyediakan tempat tinggal yang layak untuk keluarga, dan pikiran-pikiran lain yang tidak akan ada sebelum kita menikah.

Apakah kemudian setelah menikah akan lebih mudah menghindari zina? Ya dan tidak. Anak-anak muda yang saya ajak ngobrol itu, setahu saya, adalah mereka yang sangat menjaga hubungan dengan lawan jenis. Maka salah satu motivasi menikah adalah untuk menghindari hubungan tak halal dengan wanita. Maka menikah memang jadi solusi. Tapi bisa jadi ada kalanya istri ternyata tak lebih menarik dari wanita-wanita di luar yang memang lebih pintar dandan dan menunjukkan kelebihan dari tubuh yang mereka miliki. Apakah kemudian mereka yang menikah akan selalu terhindar dari zina? Ya. Tapi dalam kenyataannya, banyak suami yang berselingkuh atau malah jajan di sembarang tempat.

Kemudian pembicaraan kami tersebut ditutup dengan kesimpulan bahwa ada satu tanggungjawab besar yang ada di pundak laki-laki. Apa yang kemudian menjadikan pernikahan itu berhasil? Tanggungjawab laki-laki. Apa yang kemudian membuat seorang laki-laki mau menikahi seorang wanita? Tanggungjawab. Apa yang membuat seorang suami yang sebenarnya dengan mudah ia menjatuhkan talak kepada istrinya hanya dengan kata-kata tapi tak ia lakukan? Tanggungjawab. Apa yang membuat laki-laki sebenarnya punya banyak kesempatan untuk mencari kesenangan dengan wanita lain tapi tak ia lakukan? Tanggungjawab. Maka pernikahan itu membutuhkan tanggungjawab yang sangat besar dari seorang laki-laki. Apakah istri tak punya tanggungjawab? Punya, tapi saya tak berencana membahasnya.

Setelah kami berbincang mengenai tanggungjawab, saya ajak mereka untuk memikirkan betapa ringannya tanggungjawab itu kalau sebagian persoalan sudah selesai. Maksud saya begini, seorang laki-laki akan menikahi wanita itu apabila menemukan beberapa alasan dari empat hal berikut : kecantikan, keturunan yang baik, kekayaan, dan agamanya. Wanita sempurna adalah yang memiliki empat hal itu. Akan tetapi sayangnya sangat jarang wanita yang memiliki semuanya. Ketika sempurna itu ada empat pilar, maka biasanya wanita hanya memiliki seperempatnya, dua perempatnya, tiga perempatnya, atau bahkan kurang dari itu. Ada wanita cantik tapi keturunannya tidak bagus, agamanya tidak bagus. Ada wanita kaya tapi tidak cantik, tidak juga bagus agamanya. Ada yang bagus agamanya, tapi kurang cantik, kurang kaya juga. Maka memilih hal-hal sulit seperti itu butuh sebuah tanggungjawab dari laki-laki. Semua pilihan akan ada konsekuensinya. Kalau Nabi Muhammad menganjurkan untuk memilih yang baik agamanya. Tapi mereka yang baik agamanya, belum tentu yang cantik rupanya, atau yang kaya hartanya. Tapi menurut saya, memilih yang baik agamanya, berarti separuh persoalan sudah selesai. Anda tak perlu was-was meninggalkannya di rumah, atau membiarkannya keluar rumah. Anda tak perlu was-was akan madrasah pertama anak-anak anda, karena ada ibu salihat yang membimbingnya. Anda mungkin sesekali kepincut dengan menornya dandanan wanita di luar sana, tapi istri salihat tahu bagaimana menyenangkan suami di rumah sampai akhirnya tak lagi sempat memikirkan wanita lain di luar rumah. Bagaimana kalau kita lebih mementingkan kecantikan, harta, atau keturunan daripada agamanya? Ya boleh-boleh saja, hanya saja siap-siap dengan konsekuensi yang akan mengikutinya. Semua pilihan punya konsekuensi, tapi memilih agama, memiliki konsekuensi yang lebih mudah untuk dilalui seorang laki-laki, apalagi kalau ia mencita-citakan keluarga surgawi.

Begitulah, laki-laki ketika akan menikah, dan sudah menikah akan memiliki tanggungjawab yang sangat besar. Sebelum menikah, bertanggungjawab untuk memilihkan calon ibu yang baik buat anak-anaknya kelak. Setelah menikah, bertanggungjawab atas wanita yang dinikahinya dan anak-anak yang dilahirkan keluarga mereka. Maka pandai-pandai memposisikan diri dalam memilih istri menjadi langkah awal dalam mengemban tanggungjawab itu. Buka mata lebar-lebar sebelum menikah, dan tutup mata rapat-rapat setelah menikah. Sayangnya, selebar apapun membuka mata, tak akan ada wanita sempurna di dunia ini. Maka kriteria apa yang Anda prioritaskan?

Yuk, Tuan-tuan, siapkan nikah kita…

4 komentar:

  1. kriteria seperti istri pertama saya juragan.. hehe

    BalasHapus
  2. hehehehe, udah tak tergantikan ya mas ichang... :D

    BalasHapus
  3. klo nikah lagi berarti berani menerima tanggung jawab~~masichang monggo nikah

    BalasHapus

Ads Inside Post