Saya masih ingat waktu itu calon istri saya agak protes karena dalam masa ta’aruf saya tidak menyinggung dan menanyakan masalah ma’isyah (penghasilan), termasuk apakah boleh nanti dia memberikan sebagian penghasilannya untuk keluarganya. Protesnya beralasan, karena memang seharusnya hal-hal seperti itu diselesaikan dan disepakati di awal agar tidak terjadi kesalahpahaman nanti. Tapi waktu itu saya merasa itu pertanyaan yang tidak prioritas. Yang lebih prioritas adalah memastikan tentang visi dan mimpi tentang masa depan. Ditambah saya sudah sangat bersyukur ada yang mau ‘didamparkan’ di pulau terpencil bernama Ternate, dan lebih bersyukur ketika sepertinya cara pandang kami terhadap hidup dan fungsi rumah tangga sama, membina rumah tangga untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Tapi akhirnya saya tanyakan juga, meski tak ingat persis jawabannya seperti apa.
Masa-masa pengantin baru ternyata menjadi masa penyesuaian yang cukup menantang bagi kami kala itu. Dua sifat, dua selera, kadang-kadang dua sudut pandang juga. Istri saya suka makan ikan, saya malas dan gak doyan ikan. Sedangkan di Ternate karena daerah pantai maka makanan yang tersaji kebanyakan adalah ikan. Saya tidak suka ikan, tapi suka makanan bakar-bakaran. Istri suka ikan, tapi tidak suka bakar-bakaran. Maka kompromi pertama kami waktu di Ternate, beli ikan bakar. Mengakomodir istri yang suka ikan sekaligus mengakomodir saya yang suka bakar-bakaran. Dan itulah pertama kali saya jadi suka ikan sekaligus pertama kali istri suka makanan yang dibakar. Alhamdulillah…
Dan setelah waktu berlalu, kami semakin belajar tentang kompromi. Sejatinya kami bagaikan dua batang kayu, kalau ingin disatukan dan bisa merekat kuat, masing-masing harus rela dikerok, dibentuk sedemikian rupa, biar bisa klop dan dan kuat untuk direkatkan. Semakin hari Alhamdulillah terasa semakin mudah. Dan mimpi kami untuk membuat ide-ide besar di istana yang kami kelola sendiri membuat kami belajar untuk mengesampingkan gesekan-gesekan kecil yang dulu terasa berat, tapi lama-kelamaan semakin terasa ringan.
Tapi kami masih harus banyak belajar. Usia pernikahan belum genap empat tahun, belum benar teruji mungkin. Kami masih harus banyak belajar, bagaimana menghangatkan cinta agar tak pernah basi, kami harus belajar bagaimana mendidik anak agar tak putus generasi pewaris para nabi, kami harus belajar bagaimana agar prinsip-prinsip kami tak terkalahkan oleh kompromi sendiri.
Saya juga harus belajar bagaimana agar komunikasi dan akomodasi terhadap istri tak membuat saya ikut-ikutan masuk grup ‘suami-suami takut istri’. Terlihat tidak serius memang. Tapi ternyata banyak leader yang terjebak dalam situasi ini, sangat bergantung pada istrinya untuk membuat keputusan. Rela mengorbankan prinsip daripada harus dengar omelan istrinya. Maka saya harus lebih merenungi lagi kaidah “ar rijalu qawwamu ‘ala an nisaa’, laki-laki itu harus bisa jadi pemimpin bagi wanita-nya”.
Doakan kami, semoga istiqamah di jalan ini. Ibarat memadukan dua batang kayu. ada yg harus dipotong, ada yg harus diserut, ada yg harus dihilangkan sebagiannya demi padu padannya... :)
Sederhana Saja
Seorang pujangga berujarUntuk kekasihnya
Kan dicintainyaDengan sederhana
Aku padamu punSederhana saja
Seperti umbel di hidung anak kitaBeningSelalu adaDan tak pernah bosan mengalir
(Puisi Eko Novianto dalam buku "Engkaulah Matahariku")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar