10/09/11

Musyawarah dalam Keluarga

“Pernikahan itu ibarat menyatukan dua buah batang kayu, masing-masing harus rela diserut, dipotong, dan dibentuk agar klop dan dapat menyatu dengan kuat dan sempurna...” – eko novianto

Sering sekali ketika keluarga kecil kami sedang makan di luar atau ada keperluan di luar, ada orang yang menanyakan selisih umur dari kedua anak kami. Pertanyaan itu akhir-akhir ini semakin sering, mungkin karena melihat Fata, 21 bulan yang selalu ingin tahu semua hal yang dilihatnya, dan juga Husna, 6 bulan yang semakin tak bisa diajak diam. Reaksi dari penanya sangat beragam. Tapi jawaban dari istri saya hanya satu jenis, dan itu jawaban yang melegakan saya. “Sengaja bu”, kata istri saya kepada orang-orang yang bertanya, “Karena mumpung kami sama-sama sedang tugas belajar, bebas dari tugas kantor, jadi bisa punya kesempatan lebih banyak untuk membersamai mereka.”.

Jawaban seperti itu melegakan dan menyenangkan bagi saya. Ketika Fata masih berumur 5 bulan, saya yang mengajukan ide untuk memberinya adik. Alasannya, karena kami memiliki lebih banyak waktu luang selama 2,5 tahun selama tugas belajar, alangkah menyenangkannya kalau itu digunakan untuk mendidik dan merawat tidak hanya satu anak. Awal pembicaraan, istri tentu keberatan. Dengan pertimbangan takut tak maksimal, dan lain sebagainya. Tapi seiring obrolan, istri luluh juga dan akhirnya ketika Fata usia 7 bulan diketahui ternyata istri telah hamil 1 bulan. Dan sejak itu, istri saya mengatakan kepada semua orang bahwa itu keputusan bersama yang dibuat dengan sesadar-sadarnya. Tak pernah sepertinya ia mengatakan kalau saya memaksanya untuk hamil.

Menghidupkan Musyawarah dalam Keluarga

Dalam kehidupan berkeluarga, tak akan terhindarkan adanya kompromi-kompromi dan penyesuaian. Mimpi ketika seorang masih bujang, ada kalanya harus direvisi menjadi mimpi baru karena harus disesuaikan dengan kondisi keluarga maupun keinginan pasangan. Cara menyelesaikan masalah ketika hidup sendiri, tentu saja akan berbeda ketika bertemu dengan masalah saat sudah berkeluarga. Dan cara terjitu untuk menemukan kompromi-kompromi itu, atau membuat keputusan untuk menyelesaikan masalah-masalah bersama itu adalah dengan musyawarah.  Saya termasuk yang sangat meyakini bahwa cara terbaik dan diberkahi untuk menyelesaikan sebuah masalah adalah musyawarah, termasuk dalam kehidupan berkeluarga.

Banyak keluarga yang gagal mencapai tujuannya karena masing-masing anggota keluarganya tidak terbiasa untuk terbuka dan bermusyawarah dalam mengambil setiap keputusan. Anggota keluarga dalam hal ini tidak hanya suami dan istri saja, tapi juga anak-anak. Masing-masing berpikir dan memandang persoalan dengan caranya sendiri, yang bisa jadi berbeda dengan yang dipikirkan oleh anggota keluarga yang lain. Hal inilah yang sering menyebabkan tidak optimalnya sebuah keluarga.

Musyawarah diartikan sebagai cara untuk mendekatkan persepsi, perasaan, dan cara berpikir antar anggota keluarga. Tak perlu selalu formal. Dalam keluarga, bahkan suasana yang tidak formal menjadi saat yang tepat untuk berdiskusi dan bermusyawarah. Kita pasti sudah sangat mengetahui kapan istri atau anak-anak kita nyaman untuk diajak berdiskusi. Bisa saat makan, bisa saat menjelang tidur, atau bahkan saat perjalanan di dalam mobil.

Agar Musyawarah Lebih Berkah

Beberapa hal harus diperhatikan ketika bermusyawarah bersama anggota keluarga. Di antaranya :

Pertama, tidak ada yang memposisikan diri sebagai yang superior dan lebih tahu. Dalam Islam berlaku kaidah yang sangat jelas dalam keluarga : Ar rijaalu qowwamu ‘ala annisaa, Laki-laki (suami) pemimpin bagi wanita (istrinya). Tapi saya lebih suka mengartikan pemimpin di sini bukan sebagai pihak yang menentukan segalanya, dan berhak memveto setiap keputusan dalam keluarga. Suami tetap menjadi decision maker, tapi berdasarkan masukan dan hasil diskusi seluruh anggota keluarga yang berkepentingan.

Ke dua, biasakan semua anggota keluarga untuk menyampaikan pendapat. Pembiasaan ini meliputi diri kita, pasangan kita dan anak-anak kita. Bisa jadi justru kita yang sulit untuk terbuka terhadap pasangan dan anggota keluarga yang lain. Pembiasaan itu bisa dimulai dengan hal-hal yang kecil, seperti memberi kesampatan anak-anak untuk memilih baju yang disukainya, atau memilih makanan yang sedang diinginkannya.

Ke tiga, membiasakan anggota keluarga untuk mendengar. Kemampuan mendengar ini tak dimiliki semua orang. Karenanya harus dibiasakan agar kita dan anggota keluarga kita bersedia mendengarkan pendapat orang lain. Mendengarkan juga berarti turut memikirkan pendapat yang dilontarkan orang lain. Mendengarkan juga berarti peka terhadap keinginan orang lain, meski kadang tak tersampaikan oleh orang tersebut.

Ke empat, membiasakan anggota keluarga untuk menerima perbedaan pendapat. Karena kadang dalam musyawarah, perbedaan pendapat tak akan dapat terhindarkan. Karenanya, setiap anggota keluarga dibiasakan untuk menerima pendapat dan usulan yang mungkin berbeda dengan keinginannya.

Ke lima, membiasakan untuk menerima hasil musyawarah denganlegowo. Ketika sesuatu diputuskan dalam musyawarah, maka itu menjadi keputusan bersama dan segala sesuatunya akan ditanggung bersama. Kalimat yang muncul di luar keluarga adalah, “Ini keputusan kami, dan insya Alloh sudah dengan banyak pertimbangan.”. Tak nyaman didengar rasanya ketika istri kita berkata, “Tau tuh si Mas, saya sih pengennya begitu, tapi si Mas gak mau ndengerin.”. Keputusan dalam musyawarah bukan tak bisa diubah. Tapi mengubahnya juga dengan musyawarah serupa, agar tak ada yang merasa terabaikan atau ditelikung dari belakang. Diskusi seru tapi tetap santun terjadi di dalam internal keluarga, tapi ketika keluar dari kamar, semua memiliki keputusan satu.

Meskipun tak mudah dan memang harus dibiasakan, yuk kita mulai terbuka dan selalu berdiskusi dengan pasangan dan anak-anak kita :).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post