“Tidak harus kau! Tapi aku hanya malu bertemu Tuhanku dalam keadaan membujang”(Sakti Wibowo, Sepasang Merpati Berkalung Safir)
Waktu itu bulan April 2007. Keinginan dan kegelisahan yang muncul di hatiku semakin kuat. Aku harus menikah. Saat itu juga, atau paling tidak tidak lama-lama dari bulan April.
Pertama, karena sebelumnya aku telah mentargetkan bulan Februari 2007 sebagai bulan pernikahanku, dengan asumsi saat itu sudah berpenghasilan, tapi ternyata meleset.
Kedua, kondisi internal dan eksternal yang seperti mengharuskanku untuk menggenapkan separuh din, sesegera mungkin.
Ketiga, mungkin saja karena saat itu aku baru saja penempatan kerja di Ternate, Maluku Utara, bulan Maret 2007. Mungkin keinginan menikah hanyalah keinginan untuk mencari penghibur dan ‘pembagi sengsara’ di tanah orang. Tapi sepertinya tidak. Keinginan untuk segera menikah tidak muncul hanya ketika berada di Ternate. Keinginan itu sudah muncul bahkan sejak semester dua kuliah di STAN, dan target untuk segera menikah setelah lulus kuliah juga sudah disounding ke orang tua setiap kali pulang saat liburan setelah ujian.
Penantian itu ternyata tidak mudah. “Faktor Ternate ternyata cukup menyulitkan, akh”, kata seorang ustadz yang saya mintai tolong untuk mencarikan gadis Jawa yang mau diajak berlayar ke daerah jauh itu. Sebenarnya syarat yang saya ajukan cukup simple, dari Jawa, karena memang sepertinya hanya itu pula syarat dari orangtua.
Sampai akhirnya muncullah nama itu. Nama yang dulu hampir selalu didengar waktu di kampus yang sering mengerjakan amanah bersama-sama, yang katanya kalau dia menikah saya akan diminta jadi saksinya; kini aku ditawarkan dan berkesempatan untuk meminangnya! Rasa ragu menelusup, membayangkan omongan dan persepsi kawan-kawan kalau kami yang dulu sering satu organisasi harus bersatu dalam ikatan pernikahan. Apa kata dunia? Tapi menimbang baik dan buruknya, terutama keinginan yang sangat kuat untuk segera menikah dan faktor bahwa ternyata agak susah mencari yang benar-benar siap diterbangkan ke pulau seberang, membuatku memberanikan diri meminta nomer HP ayah sang akhwat dan langsung menelponnya. Gak usah pakai ta’aruf-ta’arufan. Toh udah kenal. Cukup biodata berlembar-lembar darinya tanpa foto, dan dua lembar biodata dariku dengan foto sisa waktu bikin KTP dulu.
“Mas ini siapa?”, suara di seberang sana sedikit menyadarkanku. Aku langsung berusaha memperbaiki bicaraku. Mengenalkan kembali nama, dan langsung bercerita bahwa ingin meminang putrinya.
“Saya ini kan belum mengenal mas. Belum mengetahui apa mas dari keluarga baik-baik atau tidak. Mana mungkin saya bisa langsung meng-iyakan keinginan mas untuk melamar anak saya?”
“Insya Alloh saya serius, pak. Bahkan saya bisa langsung melamar dengan keluarga saya.”
“Datang dulu ke sini lah. Bicara baik-baik…”
Waduh, datang ke Solo berarti harus menyiapkan uang untuk tiket PP Ternate-Jogja dan ongkos dari Magelang ke Solo. Tiket Ternate-Solo sekitar 1,2 juta waktu itu.
“Iya, pak. Insya Alloh saya akan datang ke rumah”, jawabku mantap meski sebenarnya ketar-ketir masalah biaya.
Dengan meminjam uang dari teman-teman semasa kuliah, akhirnya awal Mei aku pulang. Kalau tidak salah, 13 Mei 2007, dengan ditemani sepupu (gak keren banget sih) datang menemui orang tua akhwat dan langsung menegaskan kembali keinginan untuk menikah. Sesegera mungkin. Alhamdulillah, tidak seperti ketakutan yang dibayangkan, jawaban “oke” langsung diterima dari ayah dan ibu si akhwat. Tidak perlu waktu lama, karena memang tidak boleh ijin kantor berlama-lama, 17 Mei 2007 lamaran resmi dengan keluarga dan diputuskan untuk menggelar pernikahan tanggal 7 Juli 2007, pas liburan sekolah, pas tanggalnya cantik pula.
Masalah ijin sudah didapat, tinggal masalah ke dua yang fundamental. Duit. Teryata gajiku tidak juga beranjak dari angka 850 ribu rupiah. Untuk mas kawin, dan biaya walimah tidak mungkin dilimpahkan semua ke orang tua. Mereka cukup mengurus teknis saja sekaligus menjawab gunjingan para tetangga yang curiga dengan pernikahan mendadak kami. Akhirnya, aku memberanikan diri menyuruh bapak meminjamkan uang dengan perjanjian kalau ada rapelan gaji dari kantor akan kukembalikan sepenuhnya. Dan Alhamdulillah, semuanya lancar.
Dan pernikahan itu terasa sangat mudah. Rizky terus mengalir ketika benar-benar dibutuhkan untuk biaya tiket pesawat dari Ternate ke Magelang dan Solo, atau untuk persiapan yang lain. Rapelan satu demi satu cair, dan hampir selalu pas saat kami membutuhkan, meski sebenarnya masih sangat pas-pasan untuk mempersiapkan sebuah pernikahan. Dan ketika selesai mengajukan cuti menikah, muncul surat yang menyatakan aku harus mengikuti Diklat Prajabatan di Manado sampai tanggal 6 Juli 2007. Jadilah calon pengantin harus ber’prajab’ ria dan menyerahkan segala urusan pernikahan ke keluarga saja. Bahkan aku ingat, 6 Juli 2007 langsung terbang ke Jogja, dan di perjalanan mampir untuk membeli jas yang akan kukenakan waktu akad nikah besoknya.
Alhamdulillah, pernikahan bersejarah itu akhirnya terjadi juga, tepat pada tanggal keren 070707, atas bantuan banyak sekali kawan dan saudara, atas kemurahan Alloh ‘Azza wa Jalla.
Dan setelah 3,5 tahun menikah, aku kembali berpikir. Mungkin dulu memang tidak harus dengan dia aku menikah, yang penting menikah. Tapi sekarang, aku mulai sadar, sepertinya tak akan ada pernikahan jika tidak dengan dia, adinda Inge Febria Aryandari :)
Mengharukan.. dan mengispirasi
BalasHapus^_________^
Semoga inspirasinya cepat terealisasi :p
BalasHapusMirip-mirip dengan kisah saya nih...cuma lebih dramatis dikit kayaknya :). Barakallahulakum
BalasHapusoiya, pak?
BalasHapusSeperti kata Pak Anis Matta, sedikit dramatsisasi biar lebih manis :)
Barokallohulakum
keren mas kisahnya,.. bisa dicontoh ni..
BalasHapus