Ahad kemarin saya berbincang
dengan beberapa anak muda tentang pernikahan. Bincang-bincang ringan, hanya
sedikit dalil, tanpa landasan studi, minim referensi. Anak-anak muda itu
semuanya laki-laki, sudah lulus kuliah, sebagian sudah bekerja dan punya penghasilan.
Maka saya merasa relevan untuk membahas masalah pernikahan dengan mereka.
Membahas pernikahan dengan orang-orang yang mungkin sebentar lagi akan menikah,
apalagi dia adalah laki-laki, maka saya merasa bahasan yang relevan untuk
dikupas bukan masalah romantisme pernikahan, enaknya menikah, indahnya menikah
dengan gadis salihah, dan bahasan-bahasan lain yang sejenis. Kepada para
laki-laki itu, saya ingin berbincang mengenai mas’uliyah (tanggungjawab)
seorang laki-laki. Bagi mereka, saya anggap ngompor-ngomporin buat nikah dengan
menyajikan kisah-kisah dan dalil-dalil tentang romantisme keluarga sudah
selesai. Saatnya membahas pernikahan dari sudut pandang laki-laki, dengan lebih
serius.
Saya memulai dengan bercerita
tentang kehidupan Hasan Al Banna di rumahnya. Kenapa Hasan Al Banna? Karena
saat itu, hanya itu bahan yang mudah saya temukan. Saya membaca ringkasan buku
“Cinta di Rumah Hasan Al Banna” karangan Muhammad Lili Nur Aulia. Buku itu
hanya trigger. Saya membacakan bagaimana Hasan Al Banna yang waktu itu sudah
menjadi pemimpin gerakan Islam terbesar di Mesir bernama Ikhwanul Muslimin
masih sempat merutinkan makan bersama keluarganya, berbelanja kebutuhan
rumahtangganya, mencatat dan mem-file-kan dokumen-dokumen anak-anaknya,
meluangkan waktu untuk anak-anaknya, memasak untuk keperluannya dan tamunya,
dan pekerjaan-pekerjaan yang sangat tidak “heroik” lainnya. Saya membacakan itu
untuk memulai bahasan bahwa ada tanggungjawab besar yang mengikuti laki-laki
kemanapun ia pergi. Menikah, maupun menunda untuk menikah, aka nada konsekuensi
yang selalu mengikuti. Menikah, bukan berarti kemudian selalu akan berakhir dengan
cerita akan bertemu dengan wanita cantik yang selalu lemah lembut, akan selalu
mendapatkan pijatan ketika lelah pulang kantor, dan segala macam keindahan
pernikahan lainnya.
Saya mengajak para lelaki muda
itu untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi setelah
kita menikah. Punya istri, tentu, punya mertua, mungkin juga punya anak, atau
juga tidak punya anak. Setelah menikah, seketika menjadi kepala keluarga yang
wajib memberikan nafkah halal kepada anak istri. Apakah setelah menikah maka
semuanya menjadi indah dan enak? Kalau yang dimaksud enak adalah banyak hal
yang bisa kita nikmati pasca pernikahan, maka itu benar. Akan tetapi kalau yang
dimaksud enak adalah kita memiliki pelayan pribadi, bisa bersantai sepulang
kantor sambil baca portal berita dan ada pisang goreng, serta teh manis yang
dibuatkan istri, belum tentu. Bisa jadi sepulang kantor malah harus melayani
pertanyaan bertubi-tubi dari anak-anak, harus menemani mereka belajar, harus
mendengarkan curhatan istri, kemudian menidurkan anak-anak, dan baru bisa
rebahan. Mungkin juga masih harus memikirkan susu yang mau habis, mengatur
penghasilan, menyediakan tempat tinggal yang layak untuk keluarga, dan
pikiran-pikiran lain yang tidak akan ada sebelum kita menikah.
Apakah kemudian setelah menikah
akan lebih mudah menghindari zina? Ya dan tidak. Anak-anak muda yang saya ajak
ngobrol itu, setahu saya, adalah mereka yang sangat menjaga hubungan dengan
lawan jenis. Maka salah satu motivasi menikah adalah untuk menghindari hubungan
tak halal dengan wanita. Maka menikah memang jadi solusi. Tapi bisa jadi ada
kalanya istri ternyata tak lebih menarik dari wanita-wanita di luar yang memang
lebih pintar dandan dan menunjukkan kelebihan dari tubuh yang mereka miliki.
Apakah kemudian mereka yang menikah akan selalu terhindar dari zina? Ya. Tapi
dalam kenyataannya, banyak suami yang berselingkuh atau malah jajan di
sembarang tempat.
Kemudian pembicaraan kami
tersebut ditutup dengan kesimpulan bahwa ada satu tanggungjawab besar yang ada
di pundak laki-laki. Apa yang kemudian menjadikan pernikahan itu berhasil? Tanggungjawab
laki-laki. Apa yang kemudian membuat seorang laki-laki mau menikahi seorang
wanita? Tanggungjawab. Apa yang membuat seorang suami yang sebenarnya dengan
mudah ia menjatuhkan talak kepada istrinya hanya dengan kata-kata tapi tak ia
lakukan? Tanggungjawab. Apa yang membuat laki-laki sebenarnya punya banyak
kesempatan untuk mencari kesenangan dengan wanita lain tapi tak ia lakukan?
Tanggungjawab. Maka pernikahan itu membutuhkan tanggungjawab yang sangat besar
dari seorang laki-laki. Apakah istri tak punya tanggungjawab? Punya, tapi saya
tak berencana membahasnya.
Setelah kami berbincang mengenai
tanggungjawab, saya ajak mereka untuk memikirkan betapa ringannya tanggungjawab
itu kalau sebagian persoalan sudah selesai. Maksud saya begini, seorang
laki-laki akan menikahi wanita itu apabila menemukan beberapa alasan dari empat
hal berikut : kecantikan, keturunan yang baik, kekayaan, dan agamanya. Wanita
sempurna adalah yang memiliki empat hal itu. Akan tetapi sayangnya sangat
jarang wanita yang memiliki semuanya. Ketika sempurna itu ada empat pilar, maka
biasanya wanita hanya memiliki seperempatnya, dua perempatnya, tiga
perempatnya, atau bahkan kurang dari itu. Ada wanita cantik tapi keturunannya
tidak bagus, agamanya tidak bagus. Ada wanita kaya tapi tidak cantik, tidak
juga bagus agamanya. Ada yang bagus agamanya, tapi kurang cantik, kurang kaya
juga. Maka memilih hal-hal sulit seperti itu butuh sebuah tanggungjawab dari
laki-laki. Semua pilihan akan ada konsekuensinya. Kalau Nabi Muhammad
menganjurkan untuk memilih yang baik agamanya. Tapi mereka yang baik agamanya,
belum tentu yang cantik rupanya, atau yang kaya hartanya. Tapi menurut saya, memilih
yang baik agamanya, berarti separuh persoalan sudah selesai. Anda tak perlu
was-was meninggalkannya di rumah, atau membiarkannya keluar rumah. Anda tak
perlu was-was akan madrasah pertama anak-anak anda, karena ada ibu salihat yang
membimbingnya. Anda mungkin sesekali kepincut dengan menornya dandanan wanita
di luar sana, tapi istri salihat tahu bagaimana menyenangkan suami di rumah
sampai akhirnya tak lagi sempat memikirkan wanita lain di luar rumah. Bagaimana
kalau kita lebih mementingkan kecantikan, harta, atau keturunan daripada
agamanya? Ya boleh-boleh saja, hanya saja siap-siap dengan konsekuensi yang
akan mengikutinya. Semua pilihan punya konsekuensi, tapi memilih agama,
memiliki konsekuensi yang lebih mudah untuk dilalui seorang laki-laki, apalagi
kalau ia mencita-citakan keluarga surgawi.
Begitulah, laki-laki ketika akan
menikah, dan sudah menikah akan memiliki tanggungjawab yang sangat besar.
Sebelum menikah, bertanggungjawab untuk memilihkan calon ibu yang baik buat
anak-anaknya kelak. Setelah menikah, bertanggungjawab atas wanita yang
dinikahinya dan anak-anak yang dilahirkan keluarga mereka. Maka pandai-pandai
memposisikan diri dalam memilih istri menjadi langkah awal dalam mengemban
tanggungjawab itu. Buka mata lebar-lebar sebelum menikah, dan tutup mata
rapat-rapat setelah menikah. Sayangnya, selebar apapun membuka mata, tak akan
ada wanita sempurna di dunia ini. Maka kriteria apa yang Anda prioritaskan?
Yuk, Tuan-tuan, siapkan nikah
kita…
kriteria seperti istri pertama saya juragan.. hehe
BalasHapushehehehe, udah tak tergantikan ya mas ichang... :D
BalasHapusklo nikah lagi berarti berani menerima tanggung jawab~~masichang monggo nikah
BalasHapusjadi pengen nikah
BalasHapus#eh