Lepas Isya, saya mengumpulkan anak-anak. Mereka duduk masing-masing di kursi meja makan yang hanya berjumlah empat itu.
"Karena hari ini pada nggak ngaji, Abi mau cerita tentang lagu gajah," ucap saya kepada mereka. Dengan kemampuan berbahasa mereka sekarang, rasanya sudah saatnya mengajak mereka mengapresiasi syair, sastra, juga lagu. Mengajari mereka bahwa lagu tak hanya lagu, tapi ada syairnya yang membuatnya pantas untuk dinyanyikan oleh lisan mereka atau tidak.
Tak terlalu sulit menarik perhatian mereka dengan cerita kehebatan gajah dalam bait pertama lagu yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Tulus tersebut.
Setidaknya punya tujuh puluh tahun
Tak bisa melompat kumahir berenang
Bahagia melihat kawanan betina
Berkumpul bersama sampai ajal
Besar dan berani berperang sendiri
Yang aku hindari hanya semut kecil
Otak ini cerdas kurakit perangkat
Wajahmu tak akan pernah kulupa
Bait tersebut diputar dan diulang beberapa kali sampai mereka memahami kata demi kata yang diucap. Mereka senyum-senyum mendengar suara fals bapaknya yang sesekali ikut menyanyi untuk memperjelas kata. Si kakak beberapa kali mengacungkan jarinya izin bertanya untuk memperjelas cerita, atau membantah penjelasan Bapaknya.
"Tahu gak kenapa Tulus bisa ngerti banyak tentang gajah?" tanya saya yang dijawab dengan gelengan kepala.
"Ternyata dulu dia diledekin teman-temannya dengan panggilan 'gajah'." Mereka semakin tertarik membahasnya.
"Ternyata dulu dia diledekin teman-temannya dengan panggilan 'gajah'." Mereka semakin tertarik membahasnya.
Waktu kecil dulu
Mereka menertawakan
Merka panggil ku gajah
Ku marah....
Seperti semua anak-anak, panggilan "Gajah" tak disukai oleh Tulus kecil.
"Maka jangan pernah ngejek orang lain, bahkan kalau kalian melihat tubuhnya aneh, orangnya aneh. Karena dia pasti gak akan suka."
"Gimana kalau kita yang diejek, bi?" tanya salah satu anak kami. Lalu tiba-tiba matanya berair sampai harus diseka dengan tangannya.
Pancingan saya berhasil, Bedah lagu ini sebenarnya memang untuknya.
"Aku sebenarnya pengen pindah sekolah, biar gak diledekin lagi," lanjutnya sambil sesekali menyeka matanya. Sebenarnya ini bukan pertama kali ia mengungkapkan ketidaknyamanan dengan teman-temannya. Dengan tipe anak yang kutu buku dan tak begitu menyukai kegiatan fisik, salah satu hal yang jadi bahan olokan teman-temannya adalah ketidakpandaiannya berenang. Maka jadwal berenang jadi beban berat untuknya.
Saya biarkan ia bercerita, menghabiskan semua perasaannya. Baikkah membiasakan anak mengadukan teman-temannya? Ini bukan soal ngadu mengadu. Ini soal bagaimana anak menghadapi masalahnya. Ketika ia mengukur masalahnya sudah terlalu berat, ia harus terbiasa lari ke orang yang tepat. Mentabukan aduan, membuat masalah baru terdeteksi ketika meledak. Berapa banyak penjahat yang setelah tertangkap baru mengungkap trauma masa kecil mereka yang tak tertangani? Sementara sebagian kita, menganggap anak yang mengadu adalah sebuah kejahatan.
"Emang kalau pindah sekolah, gak ada lagi teman-teman yang akan mengolok-olok?" tanya saya padanya.
"Coba dengerin lanjutan lagunya deh"
"Coba dengerin lanjutan lagunya deh"
Kini baru ku tahu
Puji didalam olokan
Mereka ingatku marah
Jabat tanganku panggil aku gajah
"Setelah besar," lanjut saya, "Tulus tahu ternyata gajah yang dulu namanya tidak disukainya, punya banyak sekali kebaikan. Dan mereka memanggilnya 'Gajah' tak benar-benar karena mereka tak suka, bisa jadi karena ada kelebihan yang tak mereka punya."
Kau temanku kau doakan aku
Punya otak cerdas aku harus tangguh
Bila jatuh gajah lain membantu
Tubuhmu disituasi rela jadi tamengku
"Ingat bahwa mereka adalah teman-temanmu. Mereka -selain saat berenang itu- sebenarnya baik kan?" ia mengangguk. Di luar konflik-konflik yang terjadi, mereka berteman. Maka saya berusaha hindari memprovokasinya untuk membenci teman-temannya.
Kecil kita tak tahu apa-apa
Wajar bila terlalu cepat marah
Kecil kita tak tahu apa-apa
"Abaikan saja kalau ada yang bikin gak nyaman. Mereka belum ngerti, masih kecil. Atau sampaikan ke mereka kalau kamu gak suka diolok-olok."
Yang terburuk kelak bisa jadi yang terbaik
Yang terburuk kelak bisa jadi yang terbaik
"Tau gak, hidup kalian itu masih panjang," ucap saya kepada mereka. Bertiga diam.
"Bisa jadi, saat besar, kalian akan lebih hebat dari teman-teman yang lain. Atau justru ada teman yang jadi lebih hebat daripada kalian."
"Maka jangan pernah mengolok-olok teman. Coba bayangin, malu gak kalau teman yang diolok-olok nanti jadi lebih hebat dari kalian?" Senyum tersungging di bibir mereka.
Saya tahu, mereka pun juga berpotensi mengolok-olok teman-teman mereka. Dalam urusan bully, tak cukup hanya mengajari mereka tahan bully, tapi juga harus tahan untuk tidak membully.
Setelah diulang beberapa kali, mereka mulai hafal dengan lagunya, dan bisa menirukan reff beberapa kali.
Kau temanku kau doakan aku
Punya otak cerdas aku harus tangguh
Bila jatuh gajah lain membantu
Tubuhmu disituasi rela jadi tamengku
Mereka sedang dalam satu fase. Fase ketika mulai menyadari ada hal-hal yang kurang dari diri mereka yang berpotensi menjadi ejekan. Karena mereka manusia, kekurangan itu akan selalu ada di diri mereka sampai mati. Potensi untuk diejek orang akan ada sampai mereka mati. Maka kalau tak segera bisa keluar dari masalah itu, sampai mati hanya akan dihantui oleh bully yang sekarang semakin ganas menerjang siapa saja melalui jari-jari yang seakan tak terhubung neuron-neuron kebijaksanaan.