07/02/17

Agar Tidak Salah Lagi Setelah Tax Amnesty


Apa beda Bulan Maret 2017 dengan bulan-bulan Maret sebelumnya? Bulan Maret 2017 merupakan batas waktu penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi pertama setelah diberlakukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang populer dengan sebutan “Tax Amnesty”. Biasanya orang berbondong-bondong melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan-nya pada Bulan Maret, sampai-sampai hampir seluruh Kantor Pelayanan Pajak penuh dengan Wajib Pajak dan server Direktorat Jenderal Pajak tak mampu melayani Wajib Pajak yang melaporkan SPT Tahunan secara online. Pertanyaan kita, apakah kualitas penyampaian SPT Tahunan tahun ini akan sama dengan tahun-tahun lalu, ataukah Direktorat Jenderal Pajak mampu memperoleh data yang lebih akurat dari SPT Wajib Pajak dan mampu meningkatkan penerimaan pajak melalui data yang diperoleh selama periode Tax Amnesty? Lebih jauh, apakah kesadaran Wajib Pajak dapat meningkat untuk melaporkan pajaknya secara benar pasca Tax Amnesty?
Gambar nyomot di https://id.techinasia.com/aturan-pajak-yang-harus-diketahui-founder-startup-indonesia
Dominasi Wajib Pajak Orang Pribadi
 
Berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal Pajak di http://www.pajak.go.id/statistik-amnesti terlihat bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi mendominasi jumlah rupiah yang berhasil dihimpun Pemerintah melalui program Tax Amnesty. Sekitar 87,2% dari total 104 Trilyun uang tebusan dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (data per 23 Januari 2017). Statistik yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Pajak tersebut memang tidak menyebutkan secara pasti jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi yang mengikuti Tax Amnesty. Akan tetapi dengan prosentase tersebut, dapat kita asumsikan bahwa jumlah peserta Tax Amnesty didominasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi.

Sebagian kalangan menilai bahwa jumlah tersebut masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak yang terdaftar. Namun sebenarnya, untuk mengukur respon masyarakat terhadap program Tax Amnesty tidak bisa hanya dilihat dari seberapa banyak Wajib Pajak yang mengikuti program Tax Amnesty dan membayar tebusan, akan tetapi juga harus dilihat pula jumlah Wajib Pajak yang tidak mengikuti Tax Amnesty, namun selama periode Tax Amnesty mereka berusaha membenahi kewajiban perpajakannya seperti melaporkan  Surat Pemberitahuan (SPT) yang belum mereka laporkan ataupun melakukan pembetulan SPT yang sudah mereka laporkan akan tetapi data yang disampaikan belum benar. Aksi melaporkan maupun membetulkan SPT yang dilakukan dalam periode Tax Amnesty tersebut seharusnya juga dapat disebut sebagai respon Wajib Pajak atas program Tax Amnesty.

Meskipun tentu saja berbeda antara Wajib Pajak yang mengikuti program Tax Amnesty dengan membayar sejumlah uang tebusan yang disetorkan kepada negara dengan mereka yang ‘sekedar’ membetulkan SPT Tahunannya. Mereka yang mengikuti program Tax Amnesty tentu saja sudah membantu pemasukan negara, dan akan mendapatkan pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan Tahun 2015 yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak. Sedangkan mereka yang tidak mengikuti program Tax Amnesty -termasuk yang hanya melakukan pembetulan SPT- tidak akan mendapatkan pengampunan tersebut, sehingga ketika di kemudian hari ditemukan data baru dapat dikenakan ketentuan sesuai dengan perundangan yang berlaku.

Pasca Tax Amnesty


Perlu diperhatikan bahwa kewajiban perpajakan yang mendapat fasilitas pengampunan adalah kewajiban perpajakan sebelum Tahun 2015. Artinya, Wajib Pajak harus memperhatikan kewajiban perpajakan mereka untuk Tahun 2016 dan tahun-tahun berikutnya, termasuk kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan. Sebagaimana kita tahu, SPT Tahunan paling lambat disampaikan oleh Wajib Pajak pada akhir bulan Maret tahun berikutnya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan akhir bulan April tahun berikutnya untuk Wajib Pajak Badan.

Dengan banyaknya Wajib Pajak Orang Pribadi yang mengikuti program Tax Amnesty sesuai dengan data yang disebutkan di atas, maka bulan Maret 2017 seharusnya menjadi momen penting bagi peningkatan kepatuhan Wajib Pajak khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi. Wajib Pajak yang telah mendapatkan pengampunan seharusnya tidak melakukan kesalahan yang sama, seperti lalai menyampaikan SPT Tahunan maupun menyampaikan SPT Tahunan dengan tidak benar,  sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Begitupun juga Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPT Tahunan.

Kelalaian penyampaian SPT Tahunan biasanya terjadi karena minimnya awareness Wajib Pajak meskipun sudah disosialisasikan secara massif. Kelalaian ini juga bisa terjadi ketika misalnya seorang karyawan merasa bahwa penyampaian SPT Tahunan merupakan kewajiban kantor atau perusahaannya. Padahal penyampaian SPT Tahunan adalah kewajiban masing-masing Wajib Pajak karena ia sendiri yang mengetahui harta dan kewajiban yang dimiliki, dan juga penghasilan lain selain dari gaji yang mungkin ada. Sedangkan ketidakbenaran data yang disampaikan dalam SPT biasanya disebabkan karena merasa aman dari pengawasan pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, yang dianggap tidak memiliki data untuk membuktikan ketidakbenaran SPT yang disampaikan Wajib Pajak.

Setelah Wajib Pajak mengikuti Tax Amnesty atau membetulkan SPT Tahunan-nya sebagai respon atas Tax Amnesty, seharusnya kelalaian dan ketidakbenaran data itu tidak terulang lagi. Wajib Pajak menjadi sadar bahwa SPT Tahunan wajib dibuat sendiri olehnya dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu, dengan data yang ditulis sendiri oleh Wajib Pajak yang mengikuti Tax Amnesty maupun yang membetulkan SPTnya, seharusnya tidak ada lagi perasaan aman ketika menyampaikan SPT yang tidak benar.

Lapor SPT, Jangan Salah Lagi


Memang, data yang disampaikan ketika Tax Amnesty adalah data berupa harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Pun demikian dengan data yang disampaikan dalam SPT pembetulan oleh Wajib Pajak, kebanyakan juga membetulkan harta yang belum dicantumkan dalam SPT yang sudah disampaikan. Harta yang dimiliki seseorang tentu saja tidak dikenakan Pajak Penghasilan. Akan tetapi perlu diingat bahwa sangat terbuka kemungkinan atas harta yang dilaporkan tersebut, Wajib Pajak memperoleh tambahan kemampuan ekonomis yang seharusnya dikenakan Pajak Penghasilan. Contoh, seorang karyawan memiliki beberapa properti termasuk rumah tinggal, apartemen, dan tanah perkebunan. Selama ini, karyawan tersebut hanya melaporkan penghasilan dari gaji yang diterimanya secara rutin dari perusahaan. Padahal, atas apartemen dan tanah perkebunan tersebut, ia juga memperoleh penghasilan dari sewa maupun dari usaha lain. Nah, seharusnya penghasilan dari selain gaji yang diterima rutin oleh perusahaan (dan biasanya sudah dipotong pajaknya) tersebut juga dilaporkan dalam SPT Tahunannya.

Oleh karena itu, mari jadikan momen penyampaian SPT Tahunan 2016 yang akan berakhir pada Maret dan April 2017 nanti sebagai momentum peningkatan kepatuhan perpajakan kita.
Pertama, sampaikan SPT Tahunan sebelum jatuh tempo.
Kedua, masukkan semua aset ke dalam SPT, termasuk aset yang diikutkan Tax Amnesty
Ketiga, sampaikan SPT Tahunan dengan data yang sebenar-benarnya, termasuk penghasilan-penghasilan lain dari asset yang kita miliki.


Karena APBN Indonesia sebagian besar dibiayai oleh pajak, sehingga sukses tidaknya pembangunan negara kita bergantung pada benar tidaknya kita dalam memenuhi kewajiban perpajakan kita.Mau kan negara kita jadi makmur dan sejahtera?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post