16/02/12

Mempersiapkan "Puber Ke Dua"

“Bagaimana kalau aku yang melakukan itu? Sikapmu bagaimana?”
“Gimana ya... namanya juga orang khilaf”

Tiba-tiba kami memperbincangkan hal yang tidak biasa pada malam itu, di tengah panjangnya Cipularang yang tak begitu terang dan kecepatan mobil yang harus kupertahankan agar semakin cepat sampai ke rumah sekaligus aman dari gangguan pengguna jalan lain. Anak-anak kami sudah terlelap setelah kecapean diajak menyusuri jalur selatan jawa di siang harinya. Topik malam itu adalah puber ke dua, istilah yang digunakan untuk menggambarkan para paruh baya yang kasmaran dan kecentilan seperti saat mereka mengalami puber di masa remaja mereka. Saya yang mengajukan pertanyaan itu, dan istri saya menjawabnya sangat menggantung, mungkin bingung, sama seperti saya yang juga bingung.

Konon, pada suatu masa, hampir semua orang akan mengalami perasaan atraktif, seperti saat ia remaja. Energinya membuncah mendesak ingin dikeluarkan. Reaksinya bisa bermacam-macam. Mazhab Gestalt, seperti yang ditulil oleh Shinta Yudhisia dalam tulisannya “Puber Kedua, Dialami Oleh Lelaki atau Juga Perempuan” mengungkapkan bahwa, selalu ada unfinished business pada diri manusia yang akan menagih suatu saat nanti. Istilah masa kecil kurang bahagia, masa remaja kurang foya-foya, bila tidak ditangani tepat akan ‘menagih’ di suatu era tahapan dimana seharusnya tidak terjadi. Maka dalam sebuah talkshow, seorang psikolog mengungkapkan bahwa puber kedua itu tidak selalu berakhir dengan jatuh cintanya seorang paruh baya kepada lawan jenisnya, yang biasanya bukan pasangannya. Puber ke dua juga bisa menjadikan seseorang menjadi seorang pekerja keras, ambisius, bahkan kekanak-kanakan. “unfinished business” atau missing link dalam tahap perkembangan dan proses hidup kita, sedikit banyak akan mempengaruhi seperti apa puber ke dua kita.

Rasanya tak masalah kalau puber ke dua itu malah menimbulkan hal yang positif. Tapi belakangan saya agak terganggu dengan bayangan saya sendiri, 15-20 tahun mendatang.
“Lelaki itu”, kata ibu mertua saya dulu ketika saya datang untuk menyatakan ingin menikahi anak gadisnya, “ketika usia 40-an, maka mereka sedang gagah-gagahnya, sedang menawan-menawannya. Sedang wanita itu, pada usia tersebut, sudah tak lagi menarik, sebagaimana usia belasan dan dua puluhan. Maka, alasan apa yang membuatmu tertarik sehingga mau menikahi anak saya? Itu jangan kamu lupakan ketika nanti sudah umur 40-an.” Kira-kira begitu.

Tapi jatuh cinta itu kadang menjadi suatu perasaan tak terhindarkan. Banyak hal yang menjadi daya tarik para wanita, dan dengan sengaja atau tidak akan tertangkap oleh mata kita, para lelaki. Sebaliknya, banyak juga daya tarik para lelaki, yang mudah menembus perasaan halus para wanita. Sinta Yudhisia juga mengatakan, setiap orang bisa jatuh cinta; remaja SMP atau orangtua, bahkan mereka yang telah menikah selama belasan atau puluhan tahun. Proses emosi dan chemistry rumit ini melibatkan hormon, otak, proses sensori persepsi, pengalaman, value dan banyak sekali elemen rumit. Cinta akan muncul begitu saja, tanpa kita tahu persis apa alasannya. Tapi apakah cinta itu akan diteruskan atau tidak, itu akan membutuhkan alasan yang jelas, dan kita sendiri yang akan mengontrolnya.

Bagaimana jika suatu saat nanti jatuh cinta pada wanita yang bukan istri saya? Karena saya laki-laki, minimal saya punya dua pilihan : selingkuh, atau poligami. Pilihan ke dua, karena saya PNS maka saya harus melalui proses perijinan yang sangat rumit, belum lagi memina izin dan meyakinkan keluarga besar, meyakinkan istri sendiri, meyakinkan anak-anak, dan sebagainya. Halal, tapi rumit. Pilihan pertama, saya hanya perlu pintar-pintar berbohong, pintar-pintar mengatur jadwal, dan menyiapkan seribu alasan untuk tetap bisa bertemu dengan wanita itu. Berpotensi menimbulkan banyak dosa, rumit, dan tidak menimbulkan kenyamanan.

Atau mengambil pilihan ke tiga, menceraikan keluarga saya dan beralih ke wanita lain? Ah, tentu saja ada wanita yang lebih baik dari istri saya. Tapi kesetiaannya, kontribusinya dalam hidup saya, anak-anak yang sudah dipersembahkannya untuk saya, tentu tak akan bisa begitu saja saya tukarkan dengan masa depan yang tidak jelas bersama wanita lain.

Ah, sepertinya saya menemukan alasan untuk tidak melanjutkan jatuh cinta saya kepada wanita lain kalau suatu saat itu terjadi. Sebagaimana cinta bisa ditumbuhkan, cinta juga bisa dihilangkan. Maka memperbanyak alasan untuk terus bersama pasangan kita, menjadi alasan yang sangat kuat untuk mematikan cinta kita kepada wanita lain kalau suatu saat tiba-tiba muncul, dan menimbulkan lebih banyak mudhorot daripada manfaatnya. Jatuh cinta ketika sudah “terlanjur” punya pasangan itu akan jadi rumit. Kalau berani dan mampu, poligami jadi salah satu solusinya. Tapi kalau tidak, ketika cinta itu tak mungkin bertemu di pelaminan, atau bisa saja berakhir di pelaminan tapi menyisakan banyak luka yang tak mudah untuk disembuhkan, maka mengakhiri cinta dengan menggunakan rasio-rasio yang kita bangun, sepertinya akan lebih aman dan nyaman untuk kehidupan senja kita yang hanya menunggu mati ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post