21/03/12

Membiarkan Pasangan Kita



Pernahkah Anda berantem dengan pasangan hanya gara-gara masalah yang sepele? Saya sering. Setidaknya dulu, waktu awal-awal pernikahan, pertengkaran kami lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang sepele. Misal, saya marah karena istri memilih untuk ngepel rumah dulu sebelum masak, padahal saya sudah kelaperan. Di lain waktu, saya gelisah dan akhirnya marah ketika istri memilih untuk diam daripada mencurahkan apa yang dirasakannya kepada saya. Atau satu malam saya merasa tak diperhatikan dengan layak ketika istri tidur tanpa makan malam karena memang kenyang, dan tanpa menanyakan dulu apa saya lapar dan ingin makan atau tidak. Di banyak waktu, ngambeknya istri saya juga karena hal-hal yang saya gak tahu apa pentingnnya sampai dijadikan alasan untuk ngambek, hehe. Apakah Anda juga pernah mengalami hal itu bapak ibu?

Sampai akhirnya saya menyimpulkan pada satu solusi : biarkan saja. Seperti plesetan pepatah, dalam cinta yang sehat, ada keluarga yang sehat. Selayaknya tubuh yang sehat, keluarga yang sehat hanya butuh sedikit istirahat dan ketenangan untuk meredakan demam yang melanda. Tak perlu dokter, tak perlu obat. Tak perlu pula untuk banyak berdiskusi tentang demam itu. Cukup biarkan saja, maka kalau memang tak ada gejala lain, demamnya akan sembuh sendiri.

Begitu pula cinta, kata Anis Matta, punya mekanisme pembiaran. Seperti ketika Rosulullah hanya tertawa menyaksikan Aisyah dan Saudah saling bertengkar dan saling menimpuk wajah mereka dengan kue, atau seperti Ummu Salamah yang menjawab dengan enteng pertanyaan Anas bin Malik tentang Rosulullah yang selalu refleks mencium Aisyah tapi tidak begitu ketika bertemu beliau. Tak semua hal dalam cinta itu harus dibahas. Pembiaran ini semacam toleransi dan keyakinan bahwa masalah-masalah yang muncul ini bukan suatu bahaya yang mengancam hubungan jangka panjang.
Ketika ada pasangan yang mengatakan bahwa, wujud cinta mereka adalah dengan berantem setiap hari, maka saya tidak percaya. Semua pasangan pasti mengharapka kehidupan yang sakinah, yang tenang. Berantem itu bukan wujud sakinah. Bagaimana agar terwujud ketenangan itu? Salah satunya dengan pembiaran. Membiarkan dan menikmati kekurangan-kekurangan pasangan kita, memberikan usul perbaikan, tanpa harus menjadikan itu bahan pertengkaran yang hanya akan melukainya dan melukai kita. Asal kekurangan itu bukan hal yang prinsip, maka itu adalah resiko indah karena kita menikahi seorang manusia biasa. Tak perlu dibuat pusing, apalagi diceritakan ke orang ke tiga yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah.

“Sesungguhnya”, kata Nabi, “wanita diciptakan dari tulang rusuk yg bengkok. Dia tdk akan lurus untukmu di atas satu jalan. Jika engkau bersenang-senang dengan mk engkau bisa melakukan namun pada ada kebengkokan. Bila engkau paksakan utk meluruskan mk engkau akan mematahkan dan patah itu adl menceraikannya”. Maka nikmati saja kekurangan pasangan kita. Beri masukan untuknya secara perlahan dengan penuh hormat, dan mengingat bahwa mengkoreksi diri lebih utama daripada mengkoreksi orang lain termasuk pasangan kita.

Bagaimana mengetahui kekurangannya itu prinsip atau tidak? Saya mengusulkan untuk men-standardkan semuanya ke aturan Tuhan kita. Sudah sangat lengkap pedoman dan contoh nyata pernikahan dalam Islam. Pedoman di Al Qur’an dan Hadist maupun contoh dalam kehidupan keseharian Rosulullah. Saya rasa, memilih untuk mengepel dulu sebelum masak, diam ketika kita mengharapkan dia untuk bicara, atau lupa menawarkan makan malam bagi suaminya, adalah kekurangan tidak prinsip yang sebenarnya tugas membersihkan rumah, menyediakan makan itu menurut agama kita adalah tugas dasar suami yang atas kesepakatan masyarakat kemudian dilimpahkan ke istri. Terus, apakah hal-hal sepele itu layak untuk diperdebatkan dengan istri kita? 

2 komentar:

  1. suka sekali baca artikel ini, benar2 memberi pengetahuan buat lajang macam saya sebelum nanti menikah :D thanks Mas!

    BalasHapus
  2. Membiarkan akan jadi solusi jika istri mudah memaafkan. Ibarat daun yang berada di atas batu, ketika tertiup angin, maka hilanglah ia.
    Akan jadi masalah jika kekesalan/kemarahan dan hal-hal lain yang dibiarkan (baca: tidak dikomunikasikan) seperti endapan di dasar gelas. Saat ini mungkin kemarahan membuat air keruh, ketika dibiarkan maka ia akan mengendap di dasar gelas. Suatu ketika, jika ada kemarahan baru, maka endapan akan ikut naik, menambah keruh air di gelas. Ia tidak hilang, hanya mengendap. Dan suatu saat, ketika endapannya penuh, maka meledaklah ia.

    Itu cuma perumpamaan. Jika istri anda pernah marah, dan ternyata ia mengungkit2 masalah yang telah lalu, yang menurut anda "itu kan udah lewat", maka mungkin pembiaran yang anda lakukan itu hanya mengendap, tidak hilang.

    Memang ada banyak permasalahan yang bisa selesai dengan menyerahkannya kepada waktu, tapi tidak semua...

    BalasHapus

Ads Inside Post