01/07/11

Mengasuh Mental Anak Kita

Sepertinya suatu hal yang lumrah, kita berharap akan memiliki anak-anak yang sempurna. Hal yang wajar juga ketika kita menganggap bahwa anak-anak kita adalah anak-anak yang paling pandai dan paling cakep sedunia. Sayangnya, kadang kita tahu bahwa malaikat-malaikat kecil kita ternyata adalah anak-anak manusia biasa. Mereka makhluk-makhluk ajaib, tapi tentu saja jauh dari kesempurnaan.

Pernahkah kita merasa jengkel karena anak kita tidak mau bersalaman, tersenyum, atau menyapa teman-teman kita, padahal itu biasa ia lakukan ketika kita pulang ke rumah setelah bekerja? Atau pernahkah kita merasa marah karena anak Anda tak bisa menunjukkan kebolehannya di hadapan saudara dan teman-teman kita, padahl ketika di rumah polahnya selalu membuat gemas yang melihatnya? Kadang kita ingin memamerkan kehebatan anak kita di hadapan khalayak rami, tapi ternyata sang bintang yang dinantikan pertunjukannya lebih suka untuk bersembunyi dan enggan menuruti keinginan orangtuanya.

“Ini memang pemalu ni...”, kadang-kadang kita memberi alasan yang tak perlu kepada orang-orang yang kita temui. Atau kadang kita berujar, “Si Abang memang jago kandang. Beraninya cuma di rumah...”. Lain waktu, “Memang beda antara kakaknya dan adiknya. Adiknya lebih nakal”. Dan kalimat-kalimat lain yang sebenarnya tak memberikan manfaat apapun, kecuali mungkin memberikan sedikit rasa nyaman bagi kita karena kita merasa mampu menutupi kekurangan anak kita.

Tanpa sadar, kata para ahli psikologi dan perkembangan anak, ucapan-ucapan yang sering kita alamatkan kepada anak kita adalah ‘labelling’ bagi anak kita. Kita mengatakan bahwa anak kita nakal, maka itu sama dengan memberikan cap kepada anak kita bahwa ia nakal. Begitu pula ketika kita mengatakan predikat lain untuk anak-anak kita. Dan gawatnya lagi, menurut Dra. Destryna N. Sahari, MA, seorang psikolog dari RS. Mitra Keluarga Bekasi yang saya ambil dari Tabloid Nova, umumnya orang akan lebih cepat menyimpan hal jelek daripada yang baik. "Lihat saja, walaupun kita mendapat pujian puluhan kali, tapi lalu ada satu orang yang mengkritik kita, justru kritikan itulah yang akan disimpan lebih kuat dan lebih lama dalam pikiran kita dibanding puji-pujian tadi."

Setiap anak itu unik, maka pantangan selanjutnya adalah untuk tidak membanding-bandingkannya dengan siapapun. Sebagaimana kita yang tak suka dibanding-bandingkan, anakpun juga tak menyukainya. Terlebih jika anak punya kekurangan fisik, entah badannya terlalu kecil/gemuk dibanding anak-anak lain seusianya ataupun ada kecacatan anggota tubuh. Dengan adanya kekurangan ini saja sudah cukup membuat anak merasa berbeda dan kurang dibanding teman-temannya, apalagi jika kita pun kerap menekankan perbedaan tersebut.

Anak Orang Lain pun Anak Kita

Atau kadang kita menemui hal yang berkebalikan. Anak teman kita yang usianya sebaya dengan anak kita, ternyata perkembangannya di bawah anak kita. Maka akan lebih bijak kalau kita menahan diri untuk memamerkan kebolehan anak-anak kita. Tak perlu rasanya kita mengatakan, “Lho, kok belum bisa jalan. Adek fulan aja sudah bisa...”. Tidak ada manfaatnya, dan berpotensi untuk menyinggung perasaan teman kita maupun anaknya. Ingatlah bahwa kitapun bertanggungjawab atas perkembangan mental anak-anak di sekitar kita. Jangan mentang-mentang bukan anak kita, insting kita sebagai orangtua yang salih hilang begitu saja.

Pun ketika misalnya kita mendapati para ortu yang sedang membangga-banggakan anaknya. Saya pribadi lebih senang untuk ikut mengaminkan apa yang dibanggakannya. Lebih nyaman rasanya dengan menahan diri untuk tidak berusaha menyaingi kehebatan anaknya dengan menyebutkan segudang kelebihan anak kita yang tentu saja ada. Kecuali kalau ditanya, tentu saja tak masalah untuk menyebutkannya. Jangan sampai silaturahim kita jadi tidak enak suasananya karena obrolan kita berfokus pada usaha untuk memenangkan anak masing-masing.

Saya jadi teringat akan kisah Rosulullah SAW ketika suatu ketika beliau bertemu dengan seorang wanita yang menggendong anak kecil. Rosul waktu itu kemudian meminta si bayi dari ibunya kemudian menggendong dan menimang-nimangnya. Tiba-tiba, sang bayi mengompol. Tentu saja si ibu yang tahu bahwa orang yang menggendong anaknya adalah seorang nabi, seorang pemimpin besar, dan seorang yang sangat dihormati, merasa tak enak hati terhadap rosulullah. Ia kemudian membentak anaknya dan mengambilnya dari pangkuan Rosululloh dengan cara yang kasar.

“Wahai ibu”, kata Rosululloh, “Air kencing anakmu ini akan dengan mudah aku bersihkan dengan air. Tapi bentakanmu tadi, mungkin akan membekas selamanya dan berpengaruh buruk terhadap anakmu kelak.”.

Begitulah, hati-hati dengan ucapan yang kita lontarkan dan didengar oleh anak-anak di sekitar kita. Jangan sampai itu berpengaruh buruk terhadap perkembangannya kelak.  "Air kencing ini bisa dibersihkan, tapi hati anak yang terluka akan sulit diobati." 

*setelah melihat salah satu episode "desperate housewives" di starworld

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post