Apa beda Bulan Maret 2017 dengan
bulan-bulan Maret sebelumnya? Bulan Maret 2017 merupakan batas waktu
penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi pertama setelah diberlakukan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang populer dengan
sebutan “Tax Amnesty”. Biasanya orang berbondong-bondong melaporkan Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan-nya pada Bulan Maret, sampai-sampai hampir seluruh
Kantor Pelayanan Pajak penuh dengan Wajib Pajak dan server Direktorat Jenderal
Pajak tak mampu melayani Wajib Pajak yang melaporkan SPT Tahunan secara online.
Pertanyaan kita, apakah kualitas penyampaian SPT Tahunan tahun ini akan sama
dengan tahun-tahun lalu, ataukah Direktorat Jenderal Pajak mampu memperoleh data
yang lebih akurat dari SPT Wajib Pajak dan mampu meningkatkan penerimaan pajak
melalui data yang diperoleh selama periode Tax Amnesty? Lebih jauh, apakah
kesadaran Wajib Pajak dapat meningkat untuk melaporkan pajaknya secara benar
pasca Tax Amnesty?
![]() |
Gambar nyomot di https://id.techinasia.com/aturan-pajak-yang-harus-diketahui-founder-startup-indonesia |
Dominasi Wajib Pajak Orang
Pribadi
Berdasarkan data yang dirilis
Direktorat Jenderal Pajak di http://www.pajak.go.id/statistik-amnesti
terlihat bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi mendominasi jumlah rupiah yang
berhasil dihimpun Pemerintah melalui program Tax Amnesty. Sekitar 87,2% dari
total 104 Trilyun uang tebusan dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (data per
23 Januari 2017). Statistik yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Pajak
tersebut memang tidak menyebutkan secara pasti jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi
yang mengikuti Tax Amnesty. Akan tetapi dengan prosentase tersebut, dapat kita
asumsikan bahwa jumlah peserta Tax Amnesty didominasi oleh Wajib Pajak Orang
Pribadi.
Sebagian kalangan menilai bahwa
jumlah tersebut masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak yang
terdaftar. Namun sebenarnya, untuk mengukur respon masyarakat terhadap program
Tax Amnesty tidak bisa hanya dilihat dari seberapa banyak Wajib Pajak yang
mengikuti program Tax Amnesty dan membayar tebusan, akan tetapi juga harus dilihat
pula jumlah Wajib Pajak yang tidak mengikuti Tax Amnesty, namun selama periode
Tax Amnesty mereka berusaha membenahi kewajiban perpajakannya seperti
melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT)
yang belum mereka laporkan ataupun melakukan pembetulan SPT yang sudah mereka
laporkan akan tetapi data yang disampaikan belum benar. Aksi melaporkan maupun
membetulkan SPT yang dilakukan dalam periode Tax Amnesty tersebut seharusnya juga
dapat disebut sebagai respon Wajib Pajak atas program Tax Amnesty.
Meskipun tentu saja berbeda
antara Wajib Pajak yang mengikuti program Tax Amnesty dengan membayar sejumlah
uang tebusan yang disetorkan kepada negara dengan mereka yang ‘sekedar’
membetulkan SPT Tahunannya. Mereka yang mengikuti program Tax Amnesty tentu
saja sudah membantu pemasukan negara, dan akan mendapatkan pengampunan atas
kewajiban perpajakan sampai dengan Tahun 2015 yang belum atau belum sepenuhnya
diselesaikan oleh Wajib Pajak. Sedangkan mereka yang tidak mengikuti program
Tax Amnesty -termasuk yang hanya melakukan pembetulan SPT- tidak akan
mendapatkan pengampunan tersebut, sehingga ketika di kemudian hari ditemukan
data baru dapat dikenakan ketentuan sesuai dengan perundangan yang berlaku.
Pasca Tax Amnesty
Perlu diperhatikan bahwa
kewajiban perpajakan yang mendapat fasilitas pengampunan adalah kewajiban perpajakan
sebelum Tahun 2015. Artinya, Wajib Pajak harus memperhatikan kewajiban
perpajakan mereka untuk Tahun 2016 dan tahun-tahun berikutnya, termasuk
kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan. Sebagaimana kita tahu, SPT Tahunan
paling lambat disampaikan oleh Wajib Pajak pada akhir bulan Maret tahun
berikutnya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan akhir bulan April tahun
berikutnya untuk Wajib Pajak Badan.
Dengan banyaknya Wajib Pajak
Orang Pribadi yang mengikuti program Tax Amnesty sesuai dengan data yang
disebutkan di atas, maka bulan Maret 2017 seharusnya menjadi momen penting bagi
peningkatan kepatuhan Wajib Pajak khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi. Wajib
Pajak yang telah mendapatkan pengampunan seharusnya tidak melakukan kesalahan
yang sama, seperti lalai menyampaikan SPT Tahunan maupun menyampaikan SPT
Tahunan dengan tidak benar, sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya. Begitupun juga Wajib Pajak yang melakukan pembetulan
SPT Tahunan.
Kelalaian penyampaian SPT Tahunan
biasanya terjadi karena minimnya awareness
Wajib Pajak meskipun sudah disosialisasikan secara massif. Kelalaian ini juga
bisa terjadi ketika misalnya seorang karyawan merasa bahwa penyampaian SPT
Tahunan merupakan kewajiban kantor atau perusahaannya. Padahal penyampaian SPT
Tahunan adalah kewajiban masing-masing Wajib Pajak karena ia sendiri yang
mengetahui harta dan kewajiban yang dimiliki, dan juga penghasilan lain selain
dari gaji yang mungkin ada. Sedangkan ketidakbenaran data yang disampaikan
dalam SPT biasanya disebabkan karena merasa aman dari pengawasan pemerintah,
dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, yang dianggap tidak memiliki data
untuk membuktikan ketidakbenaran SPT yang disampaikan Wajib Pajak.
Setelah Wajib Pajak mengikuti Tax
Amnesty atau membetulkan SPT Tahunan-nya sebagai respon atas Tax Amnesty,
seharusnya kelalaian dan ketidakbenaran data itu tidak terulang lagi. Wajib
Pajak menjadi sadar bahwa SPT Tahunan wajib dibuat sendiri olehnya dan
disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu, dengan data yang
ditulis sendiri oleh Wajib Pajak yang mengikuti Tax Amnesty maupun yang
membetulkan SPTnya, seharusnya tidak ada lagi perasaan aman ketika menyampaikan
SPT yang tidak benar.
Lapor SPT, Jangan Salah Lagi
Memang, data yang disampaikan
ketika Tax Amnesty adalah data berupa harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Pun
demikian dengan data yang disampaikan dalam SPT pembetulan oleh Wajib Pajak,
kebanyakan juga membetulkan harta yang belum dicantumkan dalam SPT yang sudah
disampaikan. Harta yang dimiliki seseorang tentu saja tidak dikenakan Pajak
Penghasilan. Akan tetapi perlu diingat bahwa sangat terbuka kemungkinan atas
harta yang dilaporkan tersebut, Wajib Pajak memperoleh tambahan kemampuan
ekonomis yang seharusnya dikenakan Pajak Penghasilan. Contoh, seorang karyawan
memiliki beberapa properti termasuk rumah tinggal, apartemen, dan tanah
perkebunan. Selama ini, karyawan tersebut hanya melaporkan penghasilan dari
gaji yang diterimanya secara rutin dari perusahaan. Padahal, atas apartemen dan
tanah perkebunan tersebut, ia juga memperoleh penghasilan dari sewa maupun dari
usaha lain. Nah, seharusnya penghasilan dari selain gaji yang diterima rutin
oleh perusahaan (dan biasanya sudah dipotong pajaknya) tersebut juga dilaporkan
dalam SPT Tahunannya.
Oleh karena itu, mari jadikan
momen penyampaian SPT Tahunan 2016 yang akan berakhir pada Maret dan April 2017
nanti sebagai momentum peningkatan kepatuhan perpajakan kita.
Pertama, sampaikan SPT Tahunan sebelum jatuh tempo.
Kedua, masukkan semua aset ke dalam SPT, termasuk aset yang diikutkan Tax Amnesty
Ketiga, sampaikan SPT Tahunan dengan data yang sebenar-benarnya, termasuk penghasilan-penghasilan lain dari asset yang kita miliki.
Karena APBN Indonesia sebagian besar dibiayai oleh pajak, sehingga sukses tidaknya pembangunan negara kita bergantung pada benar tidaknya kita dalam memenuhi kewajiban perpajakan kita.Mau kan negara kita jadi makmur dan sejahtera?
Pertama, sampaikan SPT Tahunan sebelum jatuh tempo.
Kedua, masukkan semua aset ke dalam SPT, termasuk aset yang diikutkan Tax Amnesty
Ketiga, sampaikan SPT Tahunan dengan data yang sebenar-benarnya, termasuk penghasilan-penghasilan lain dari asset yang kita miliki.
Karena APBN Indonesia sebagian besar dibiayai oleh pajak, sehingga sukses tidaknya pembangunan negara kita bergantung pada benar tidaknya kita dalam memenuhi kewajiban perpajakan kita.Mau kan negara kita jadi makmur dan sejahtera?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar