28/08/11

Mengapa Lebaran Kita bisa Berbeda Hari?

Sering kita merasakan perbedaan hari raya, baik Idul Adha maupun Idul Fitri, atau juga penetapan kapan mulai berpuasa. Biasanya perbedaan itu selisih satu hari, dan yang paling mencolok adalah perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Mungkin pertanyaan kita sebagai orang awam adalah, kenapa bisa terjadi perbedaan penentuan awal bulan dalam Kalender Hijriyah yang berarti terdapat perbedaan pula dalam penetapan hari raya dan hari mulai Romadhon?

Perlu diketahui bahwa pergantian hari dalam kalender hijriyah dimulai dari terbenamnya matahari (waktu maghrib), berbeda dengan kalender qomariyah yang menghitung pergantian hari pada tengah malam. Karenanya pergantian bulan dalam kalender hijriyah dimulai dari waktu Maghrib ketika terlihat hilal (bulan baru). Umur satu bulan kalender hijriyah antara 29 atau 30 hari. Apabila pada hari ke 29 hilal belum terlihat, maka bulan tersebut digenapkan menjadi 30 hari. Semua sepakat dan tidak ada perselisihan dalam hal ini.

Perbedaan terjadi ketika menentukan kapan awal bulan tersebut muncul. Sebagian menggunakan metode rukyat, seperti Nahdlatul Ulama, bersandar pada hadits, “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal).” Maka Nahdlatul Ulama dan beberapa ormas lain berpendapat bahwa awal bulan dimulai ketika hilal terlihat dengan mata manusia (tadinya dengan mata telanjang, kemudian ditetapkan dengan bantuan alat seperti teleskop). Ada yang menggunakan rukyat lokal, yaitu hasil rukyat hanya berlaku bagi satu daerah atau negara saja, ada juga yang menggunakan rukyat global, yaitu apabila dalam satu negeri terlihat hilal, maka semuanya ikut berhari raya. Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah satu ormas yang menggunakan rukyat global ini. Mereka menunggu hasil rukyat dari Saudi Arabia, dan mengikuti hasil rukyat mereka.

Sedangkan sebagian yang lain menggunakan metode hisab (perhitungan), yaitu menggunakan ilmu astronomi untuk menentukan kapan hilal mulai muncul. Muhammadiyah merupakan ormas yang menggunakan metode ini. Akan tetapi metode hisab ini terbagi dalam beberapa kriteria yang akhirnya juga berpotensi untuk menimbulkan perbedaan penafsiran kapan sebenarnya hilal tersebut muncul.
  1. Wujudul Hilal
    Merupakan kriteria penentuan awal bulan hijriyah dengan menggunakan dua prinsip : Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam dan bulan terbenam setelah matahari terbanam; maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.

    Sederhananya, apabila menurut perhitungan astronomi bulan sudah muncul, meskipun derajatnya sekecil apapun, maka menurut metode ini bulan (kalender) hujriyah sudah berganti. Padahal dalam kenyataannya, minimal hilal memiliki ketinggian 20, baru bisa dilihat oleh mata. Karenanya apabila ketinggian hilal kurang dari 20, hampir bisa dipastikan terdapat perbedaan penentuan awal bulan karena mereka yang berpegang pada metode rukyat tidak dapat melihat hilal dan akan menggenapkan bulan menjadi 30 hari. Wujudul hilal ini digunakan oleh Muhammadiyah.

  2. Imkanur Rukyat Merupakan kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan musyawarah Menteri-menteri agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk menentukan awal bulan Hijriyah pada kalender resmi pemerintah, dengan prinsip :

·       Pada saat matahari tenggelam, ketinggian (altitude) bulan di atas cakrawala minimum 20, dan sudut elongasi (jarak lengkung) bulan-matahari minimum 30, atau
·         Pada saat bulan terbenam, usia bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.

Metode Imkanur Rukyat ini digunakan oleh salah satunya Ormas Islam Persis (Persatuan Islam). Dengan metode ini, bulan (kalender) Hijriyah ditentukan berdasarkan perhitungan (hisab), namun dengan syarat-syarat di atas. Metode ini lebih dapat mempertemukan metode hisab dan rukyat karena dengan syarat-syarat di atas, maka terdapat kemungkinan hilal akan dapat dilihat dengan mata oleh mereka yang melakukan rukyat. Dengan metode Imkanur Rukyat ini, Persis memutuskan untuk menentukan hari Raya Idul Fithri 1432 H jatuh pada hari Rabu 31 Agustus 2011, berbeda dengan Muhammadiyah yang jauh-jauh hari sudah memutuskan berhari raya tanggal 30 Agustus 2011.

Pilih Mana?

Kemungkinan tahun ini pun akan terjadi perbedaan hari raya Idul Fitri 1432 H, karena bedasarkan perhitungan ketinggian hilal, pada hari Senin tanggal 29 Agustus 2011, rata-rata ketinggian hilal baru 1 derajat, bahkan ada yang baru 0 derajat. Di Jakarta tinggi hilal 1,2 derajat, Tanjung Kodok 1,1 derajat, Jogjakarta 1,2 derajat, Banda Aceh 1,3 derajat, denpasar 1,1 derajat, Ambon 0,2 derajat. Karenanya kemungkinan besar (tapi belum pasti juga) pada maghrib hari Senin 29 Agustus 2011, hilal belum terlihat dan pemerintah menetapkan untuk menggenapkan Romadhon menjadi 30 hari. Tentu kita sama-sama berharap pada senin petang hari tersebut hilal sudah terlihat. Akan tetapi di sisi lain, tentu sebagai masyarakat muslim, kita tahu bahwa kalaupun hilal belum terlihat pada Senin petang nanti, perbedaan ini bukan menjadi alasan untuk mengurangi kerekatan ukhuwah di antara umat Islam.

Biasanya kita berlebaran mengikuti apa kata ormas yang kita ikuti, atau terserah tetangga kita mau berlebaran pada hari apa. Padahal dalam hal ibadah, seharusnya kita mengetahui minimal apa dasar yang menjadikan kita mengikuti mereka? Saya pribadi dan keluarga lebih condong untuk mengikuti hasil sidang Itsbat yang dilakukan oleh Kementrian Agama RI yang diikuti oleh seluruh Ormas Islam di Indonesia. Alasan saya sederhana :

Pertama, karena alasan persatuan ummat.  Tidak dipungkiri bahwa dalam kenyataannya di arus bawah, perbedaan penetapan hari raya ini sedikit banyak menjadi masalah bagi ukhuwah ummat Islam. Karenanya, harus ada satu patokan yang menjadi rujukan kapan kita akan berhari raya. Dan rujukan paling kuat menurut saya adalah hasil sidang Itsbat yang dilakukan oleh Kementrian Agama RI.

Ke dua, sidang itsbat yang dilakukan oleh Kementrian Agama RI melibatkan ormas dan unsur2 ummat Islam di Indonesia. Seandainya pemerintah melakukan sidang sendiri tanpa melibatkan dan mendengarkan pendapat dari ormas-ormas, para ahli dari ummat Islam, dan para ulama, mungkin saya juga tidak begitu percaya dengan pemerintah. Tapi karena sidang Itsbat itu merupakan sidangnya para ahli dan para ulama, maka saya mengikuti hasil dari sidang tersebut.

Itulah alasan sederhana saya. Tentu saja saya bukan ahli hisab, bukan pula ahli rukyat, tapi saya hanya tidak ingin sekedar ikut-ikutan dalam berhari raya. Tulisan ini juga bukan untuk mendiskreditkan salah satu ormas, atau menyulut permusuhan. Smeoga bukan begitu. Anda ingin berhari raya menurut kalender Muhammadiyah, silakan, ingin menunggu hasil sidang itsbat pemerintah juga silakan. Kita sudah dewasa untuk tidak berpecah hanya karena hal ini. Akan tetapi, tentu kita sama-sama berharap ormas-ormas itu bersedia duduk bersama dan berembug jalan tengah sehingga kita dapat berpuasa, berhari raya dan menentukan kalender Hijriyah dengan kompak dan tidak perlu ada perbedaan. Allohu a’lam.

Baca juga :




1 komentar:

Ads Inside Post