27/06/11

Romantisme Keluarga Pejuang

Ada sesuatu yang khas dari kehidupan orang-orang itu. Secara kasat mata mereka adalah pasangan shalih dan shalihah. Paling tidak, sang istri mengenakan jilbab sesuai tuntunan Rosululloh, sedang sang suami berperilaku baik, menutup aurat, rajin Subuh berjamaah di mushola, dan tidak merokok. Di tengah masyarakat, mereka diterima baik oleh tetangga-tetangganya, ramah bertegur sapa dan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.

Kehidupan cinta rumah tangga merekapun membuat saya takjub dan tertegun. Mereka tidak segan menunjukkan kemesraan mereka, memamerkan keromantisan mereka dengan masih memperhatikan adab sopan santun ketimuran. Bergandengan di jalan, olahraga berdua, atau sekedar makan di pinggir jalan layaknya anak muda yang pacaran. 

Alhamdulillah, rumah kami dikelilingi oleh orang-orang shalih yang hobi merawat cinta itu. Kami pernah tergelak melihat Mas Sarimin, tetangga kami, sewaktu berangkat kondangan bersama. Ketika pesta sudah usai, dan kami bersiap untuk pulang, beliau masih menunggu sesuatu. Selidik punya selidik, ternyata dia menunggu pesta benar-benar usai karena dia mengincar sebuah rangkaian bunga segar agar bisa dihadiahkan kepada istri tercinta di rumah. Atau suatu ketika kami pernah tersenyum-senyum melihat Pak Asep, salah satu guru mengaji kami menjemput istrinya di sore hari sepulang kantor kemudian berboncengan menuju tempat makan untuk sekedar memesan seporsi pempek. Mungkin akan terlihat biasa buat pasangan muda, tapi menjadi luar biasa karena anak beliau ada yang sudah menginjak remaja. Dan kemarin kami tersenyum melihat Ustadz Sanusi, tetangga depan rumah kami, berboncengan mesra dengan istrinya. Meskipun rambut sudah agak beruban, tapi masih sangat luwes layaknya anak SMA yang sedang memboncengkan pacarnya.


Ah… mungkin itu biasa. Semua orang juga bisa melakukan hal itu. Sekedar merawat cinta mungkin memang naluri dan kebutuhan setiap orang dan akan dilakukan oleh semua orang dengan caranya masing-masing. Meskipun sebenarnya tidak semua begitu, karena perawatan cinta yang terus menerus hanya dilakukan oleh orang-orang dengan bakat romantis yang terpendam di hatinya.

Kalau begitu, satu lagi yang membuat saya iri dan ingin meniru. Orang-orang romantis, seperti kata Anis Matta dalam salah satu tulisannya, selalu rapuh. Bukan karena dalam romantisme itu ada sifat rapuh. Tapi orang-orang romantis itu selalu punya jiwa yang halus. Dan sayangnya, kehalusan jiwa itu sering berkawan dengan kelemahan. Maka bertemulah logika hubungan romantisme dengan kerapuhan dan kelemahan. Akan tetapi keluarga-keluarga salih itu, memiliki romantisme yang tinggi, tapi juga menjauhkan diri dari kelemahan. Maka kita melihat keluarga-keluarga itu adalah keluarga-keluarga pejuang yang mampu menyatukan romantisme dengan kekuatan jiwa.

Biasanya orang-orang romantis yang selalu diliputi cinta akan enggan melepas kekasihnya berpisah dengannya, apalagi untuk waktu lama. Akan tetapi di keluarga-keluarga pejuang itu, mereka akan dengan rela melepas anggota keluarganya pergi, untuk membagi cinta mereka kepada umat dan negeri ini. Mengikuti atau mengisi kajian pekanan, pelatihan-pelatihan, bahkan sampai kemping di gunung Halimun menjadi kegiatan rutin keluarga-keluarga itu. Konsekuensinya? Waktu kebersamaan mereka tidak akan bisa maksimal. Tapi itu konsekuensi dari kehalusan jiwa dan bakat cinta mereka. Dan sifat romantisme mereka, akan selalu menemukan cara sehingga kegiatan-kegiatan di luar rumah tidak akan mengurangi prioritas mereka mendidik anak-anak mereka menjadi pecinta sejati yang tidak hanya membagi cinta kepada diri, tapi juga ummat dan negeri ini.

Semoga Alloh memudahkanku mengikuti jejak para pecinta sejati itu…

2 komentar:

Ads Inside Post